Sudah menjadi sesuatu yang lumrah dan bahkan berlangsung sejak lama, bahwa para ulama di semua cabang ilmu selalu mencari akar dari disiplin ilmu yang digelutinya. Tujuannya tidak lain adalah mendapatkan pemahaman yang komprehensif sebagai syarat mutlak untuk mampu mendalami disiplin ilmu tersebut. Bahkan lebih jauh lagi dalam rangka mempertahankan konsep dasar yang membangun ilmu tersebut, lalu mengembangkannya tanpa kehilangan pijakan dan arah.

Karena itulah, ketika seseorang telah matang dalam menguasai setiap detail dari konsep ilmu yang dia geluti, pada titik tertentu dia mampu keluar dari ikatan taqlid lalu mengembangkan ilmu tersebut dengan berpegang pada pondasi yang kokoh yang telah dikuasainya.

Dari gambaran di atas, bisa ditangkap pentingnya seorang seniman untuk melewati sebuah proses pemahaman yang benar akan dasar-dasar seni yang digelutinya; mencakup kaidah dasar yang nantinya membentuk pemahaman yang benar akan konsep keindahan yang terkandung dalam seni tersebut. Jika hal tersebut telah dilalui, tentunya akan lahir seorang seniman yang memahami konsep ilmu yang dia geluti dengan baik, serta mampu menerapkan konsep tersebut dengan baik pula.

Di sinilah letak momentum pentingnya pemahaman yang benar dan otentik tentang seni kaligrafi, setelah dalam kurun waktu yang lama terjadi penurunan kualitas serta terputusnya mata rantai proses belajar dengan sistem talaqqi dan mulazamah guru, di samping juga hilangnya atmosfir kaligrafi yang mendukung proses tersebut.

Pengetahuan dasar sebuah ilmu adalah syarat dari adanya bangunan keilmuan yang kuat dan kokoh, sekaligus merupakan jembatan yang bisa mengantarkan seorang kaligrafer mampu menorehkan huruf-huruf dalam karya seninya tanpa kesan memaksa huruf untuk tunduk dalam bingkainya. Juga tidak terkesan saklek terikat dengan contoh kadiah yang ada. Hal ini akan tercapai jika kaligrafer bersangkutan telah menguasai konsep dasar kaligrafi lalu menjadikannya sebagai lentera penunjuk dalam menuliskan setiap kalimatnya.

Jika kita renungkan lebih jauh tentang fenomena seni (khususnya kaligrafi) yang terjadi saat ini, maka sungguh berat untuk mengakui bahwa yang terjadi adalah kebingungan, kehilangan arah, ketidak tahuan harus apa dan bagaimana yang dimulai dari taqlid (meniru) tanpa tau apa yang ditiru, lalu menjadikan apa yang ditiru menjadi referensi dalam memahami kaligrafi, ditambah dengan banyaknya referensi yang berisi perbedaan pendapat dalam kaidah sehingga menambah rancunya pemahaman. Fenomena yang tentunya memprihatinkan kita semua ini pada dasarnya timbul akibat tidak adanya usaha memahami akar dan dasar dasar kaligrafi yang menjadi pedoman baik bagi para praktisi maupun akademisi.

Sebuah kesyukuran memang, bahwa buku-buku referensi tentang kaligrafi mulai banyak terdapat di sekolah-sekolah, sanggar kaligrafi, maupun koleksi pribadi. Referensi tersebut memuat sejarah, biografi para kaligrafer, riwayat-riwayat serta sanggahan atasnya, juga tanggal lahir dan wafatnya seorang tokoh, kehidupan serta murid-muridnya dan banyak lagi. Tidak ketinggalan buku tentang kaidah kaligrafi dengan berbagai macam corak dan aliran di semua cabangnya juga dengan mudah dibeli, dikoleksi maupun diakses sehari-hari.

Akan tetapi jika kemudian buku-buku itu dijadikan fokus rujukan untuk mempelajari kaligrafi, maka akan semakin banyak waktu yang terbuang dengan sia-sia. Karena yang akan dihasilkan adalah generasi hasil dari meniru buku-buku dan menghafal nama-nama, namun lemah dan tidak memahami dengan baik kaidah dasar dalam menulis.

Sehingga ketika dihadapkan kepada sebuah kalimat yang asing, dia pun sibuk mencari-cari di buku adakah orang dulu pernah menulisnya? Jika ada maka dia pun menirunya, jika tida ada baru bertanya dan meminta penjelasan kepada orang di sekitarnya. Sementara tuntutan yang ada memintanya untuk mampu menulis dari hasil pemahaman yang matang dan bahkan jika mungkin menghasilkan suatu bentuk baru pada hubungan antar huruf yang ditulisnya.

Sesungguhnya kaligrafi jika hanya menjadi ilmu yang turun temurun tanpa adanya sebuah perkembangan dan pembaruan yang berakar pada konsep yang benar, hanya akan menjadi keprihatinan yang menuntut perhatian kita semua.

Sesunggunya pentingnya kembali kepada akar dan konsep seni (kaligrafi) yang benar akan semakin kita sadari jika kita mau mengakui bahwa proses kembali kepada akar dan konsep dasar merupakan unsur pokok yang menyokong bangkitnya sebuah peradaban, sehingga langgeng dan mampu menghadapi setiap tantangan yang muncul.

Dan yang perlu diketahui, bahwa kami berada di barisan paling depan dalam menyerukan pentingnya kembali kepada akar dan konsep dasar dalam seni kaligrafi yang mana hal itu menjadi tanggungan kita semua, juga merupakan bisikan kepada anda, berharap di sana ada yang membaca tidak hanya dengan mata, tetapi juga dengan akal dan hatinya, sehingga mengetahui pentingya permasalahan yang telah kami paparkan.

Ditulis oleh al-khattath Zeki El-Hasyimi. Kaligrafer dari Yaman, Magister Seni Kaligrafi dari Universitas Muhammad Fatih, Istanbul. Ijazah khot dari Syaikh Hasan Celebi, Ustadz Firhad Kurlu dan Ustadz Mumtaz Durdu. Dialih bahasakan oleh Muhammad Nur. [Muhd Nur/ hamidionline]

Author

Memperoleh ijazah di khot diwani, jaly diwani dan nasta'liq (2012), naskhi dan maghribi (2015) dari al-ustadz Belaid Hamidi. Saat ini menetap dan mengajar di PM Darussalam Gontor.

Leave a Reply