Kaligrafer Wanita Dalam Pentas Sejarah, Bagian 2

Sebagaimana seni lain, khot bukanlah seni dominasi laki-laki, tidak bias gender. Ini berarti peran wanita dalam sejarah khot tidak perlu dipertanyakan. Jika demikian adanya, maka perlakuan seorang guru kepada murid wanitanya yang sedang belajar khot, hendaknya jauh dari kesan meremehkan, atau menomorduakan. Dalam sejarah, terdapat banyak tokoh kaligrafer wanita yang hingga sekarang namanya masih abadi. Bahkan kehadiran kaligrafer wanita sudah dicatat sejarah sejak masa awal Islam.

Seorang sejarawan dan penyair Persia yang hidup di Baghdad, Ahmad bin Yahya al-Baladzuri (W. 279 H) dalam kitabnya “Futuh al-Buldan”, menyebutkan beberapa nama kaligrafer wanita yang ada pada masa awal Islam. Di antaranya, dalam sebuah riwayat, Rasulullah saw. berkata kepada kepada as-Syifa’ bintu Abdullah al-Adawiyah (W. 20 H), seorang shabiyah ahli ruqyah penyakit serta salah satu dari wanita menguasai baca tulis, menguasai seni khot serta sastra Arab. Rasulullah meminta kepada as-Syifa’ supaya mengajari Hafshah cara meruqyah penyakit namlah (sejenis sakit gatal dan inflamasi pada kulit), sebagaimana ia mengajari Hafshah menulis (khot). Selain Hafshah (W. 41 H), as-Syifa’ juga mengajari Ummu Kultsum bintu ‘Uqbah (W. 41 H) dan beberapa wanita lainnya.

Riwayat lain yang menujukkan peran besar seorang wanita dalam khat berasal dari seorang ulama besar, sejarawan, sastrawan, ahli usul fikih serta teolog, Ibnu Hazm al-Andalusi adz-Dzahiri (W. 456 H) dalam Risalah Thauq al-Hamamah fi al-Ulfah wal al-`Ullaf, menyebutkan dengan terus terang bahwa beliau belajar menulis dan khot kepada seorang wanita, beliau berkata “Mereka (hunna) mengajariku al-Qur’an, meriwayatkan untukku banyak syair serta melatihku menulis khot”.

Sumber sejarah lainnya, seperti “kitab as-Shilah fi Tarikh Aimmah al-Andalus” karangan Abu al-Qasim Khalaf bin Abdu al-Malik (W. 578 H) menyebutkan nama-nama wanita yang masyhur dengan keindahan tulisannya. Di antaranya adalah Fathimah bintu al-Hasan bin al-Aqra’ (W. 480 H), terkenal karena tulisannya yang sangat indah. Dalam “al-Ishabah fi Ma’rifah as-Shahabah” Ibnu al-`Atsir menyebutkan bahwa khot yang ditulis oleh Fathimah bintu Hasan mengikuti gaya tulisan Ibnu al-Bawwab. Nama lainnya adalah Syahidah bintu Abi Nashr Ahmad al-Ibri (W. 574 H) murid dari Muhammad bin Abdu al-Malik, murid Ibnu al-Bawwab.

Sementara itu, di antara kaligrafer wanita yang ijazahnya masih terjada dan bisa dilihat saat ini adalah ijazah khattathah Halimah bintu Muhammad Shadiq (W. 1169 H) dari gurunya, Muhammad Rasim (W. 1144 H). Halimah memperoleh ijazah pada usia yang sangat muda, 12 tahun. Sang guru, Muhamamad Rasim adalah kaligrafer yang menguasai Aqlam Sittah (Tsulust, Naskhi, Muhakkak, Raihani, Tauqi’ dan Riqa’), mendapatkan ijazah pada usia 18 tahun, dan menjadi guru pada Diwan Hamayuni.

Menyinggung kaligrafer wanita serasa kurang jika belum menyebutkan nama Asma` Ebrat. Kaligrafer wanita ini lahir di Istanbul dan belajar kepada Mahmud Jalaluddin (W 1245 H). Asma` mendapatkan ijazah pada usia 15 tahun dengan menulis Helyah Syarifah dan mendapat apresiasi dari banyak kaligrafer lain. Beliau kemudian menikah dengan sang guru, Mahmud Jalaluddin. Menutup tulisan ini, perlu kami singgung pula satu nama, yaitu Syarifah Aminah Tsarwat Hanim, yang mendapatkan ijazah dengan menulis Helyah Syarifah pada tahun 1291 H. Untuk melengkapi keterangan dan nama kaligrafer wanita, bisa merujuk kembali artikel kaligrafer wanita dalam sejarah, yang sudah kami posting sebelumnya. (muhd nur/ hamidionline)

Sumber: Nasshar Manshur, Nidzam al-Ijazah fi Fann al-Khath al-Arabiy