Kaligrafer Wanita Dalam Pentas Sejarah, Bagian 2

Sebagaimana seni lain, khot bukanlah seni dominasi laki-laki, tidak bias gender. Ini berarti peran wanita dalam sejarah khot tidak perlu dipertanyakan. Jika demikian adanya, maka perlakuan seorang guru kepada murid wanitanya yang sedang belajar khot, hendaknya jauh dari kesan meremehkan, atau menomorduakan. Dalam sejarah, terdapat banyak tokoh kaligrafer wanita yang hingga sekarang namanya masih abadi. Bahkan kehadiran kaligrafer wanita sudah dicatat sejarah sejak masa awal Islam.

Seorang sejarawan dan penyair Persia yang hidup di Baghdad, Ahmad bin Yahya al-Baladzuri (W. 279 H) dalam kitabnya “Futuh al-Buldan”, menyebutkan beberapa nama kaligrafer wanita yang ada pada masa awal Islam. Di antaranya, dalam sebuah riwayat, Rasulullah saw. berkata kepada kepada as-Syifa’ bintu Abdullah al-Adawiyah (W. 20 H), seorang shabiyah ahli ruqyah penyakit serta salah satu dari wanita menguasai baca tulis, menguasai seni khot serta sastra Arab. Rasulullah meminta kepada as-Syifa’ supaya mengajari Hafshah cara meruqyah penyakit namlah (sejenis sakit gatal dan inflamasi pada kulit), sebagaimana ia mengajari Hafshah menulis (khot). Selain Hafshah (W. 41 H), as-Syifa’ juga mengajari Ummu Kultsum bintu ‘Uqbah (W. 41 H) dan beberapa wanita lainnya.

Riwayat lain yang menujukkan peran besar seorang wanita dalam khat berasal dari seorang ulama besar, sejarawan, sastrawan, ahli usul fikih serta teolog, Ibnu Hazm al-Andalusi adz-Dzahiri (W. 456 H) dalam Risalah Thauq al-Hamamah fi al-Ulfah wal al-`Ullaf, menyebutkan dengan terus terang bahwa beliau belajar menulis dan khot kepada seorang wanita, beliau berkata “Mereka (hunna) mengajariku al-Qur’an, meriwayatkan untukku banyak syair serta melatihku menulis khot”.

Sumber sejarah lainnya, seperti “kitab as-Shilah fi Tarikh Aimmah al-Andalus” karangan Abu al-Qasim Khalaf bin Abdu al-Malik (W. 578 H) menyebutkan nama-nama wanita yang masyhur dengan keindahan tulisannya. Di antaranya adalah Fathimah bintu al-Hasan bin al-Aqra’ (W. 480 H), terkenal karena tulisannya yang sangat indah. Dalam “al-Ishabah fi Ma’rifah as-Shahabah” Ibnu al-`Atsir menyebutkan bahwa khot yang ditulis oleh Fathimah bintu Hasan mengikuti gaya tulisan Ibnu al-Bawwab. Nama lainnya adalah Syahidah bintu Abi Nashr Ahmad al-Ibri (W. 574 H) murid dari Muhammad bin Abdu al-Malik, murid Ibnu al-Bawwab.

Sementara itu, di antara kaligrafer wanita yang ijazahnya masih terjada dan bisa dilihat saat ini adalah ijazah khattathah Halimah bintu Muhammad Shadiq (W. 1169 H) dari gurunya, Muhammad Rasim (W. 1144 H). Halimah memperoleh ijazah pada usia yang sangat muda, 12 tahun. Sang guru, Muhamamad Rasim adalah kaligrafer yang menguasai Aqlam Sittah (Tsulust, Naskhi, Muhakkak, Raihani, Tauqi’ dan Riqa’), mendapatkan ijazah pada usia 18 tahun, dan menjadi guru pada Diwan Hamayuni.

Menyinggung kaligrafer wanita serasa kurang jika belum menyebutkan nama Asma` Ebrat. Kaligrafer wanita ini lahir di Istanbul dan belajar kepada Mahmud Jalaluddin (W 1245 H). Asma` mendapatkan ijazah pada usia 15 tahun dengan menulis Helyah Syarifah dan mendapat apresiasi dari banyak kaligrafer lain. Beliau kemudian menikah dengan sang guru, Mahmud Jalaluddin. Menutup tulisan ini, perlu kami singgung pula satu nama, yaitu Syarifah Aminah Tsarwat Hanim, yang mendapatkan ijazah dengan menulis Helyah Syarifah pada tahun 1291 H. Untuk melengkapi keterangan dan nama kaligrafer wanita, bisa merujuk kembali artikel kaligrafer wanita dalam sejarah, yang sudah kami posting sebelumnya. (muhd nur/ hamidionline)

Sumber: Nasshar Manshur, Nidzam al-Ijazah fi Fann al-Khath al-Arabiy

Continue Reading

Şekerzâde Muhammad; Penulis Mushaf Madrasah al-Hafidz Usman

Muhammad Sayyed adalah putra dari Abdurrahman al-Indi, seorang pembuat halawiyyat (kue pastri), karena itu Muhammad lebih dikenal dengan Şekercizâde (anak pembuat kue), sementara pada tauqi’nya beliau menyingkatnya menjadi Şekerzâde. Lahir di daerah Manisa, daerah di sebelah barat Anatolia.

Khattath Şekerzâde Belajar aqlam sittah pertama dari kaligrafer İbrahim Kırımî (w. 1737 M), lalu melanujutkan belajarnya kepada Yedikuleli Seyyid Abdullah Efendi (w. 1731 M), murid dari al-Hafidz Usman (w. 1699 M). Karena itu, dari tulisannya, Şekerzâde masuk ke dalam silsilah madrasah kaligrafer al-Hafidz Usman.

Khattath Şekerzâde termasuk seorang nassakh (ahli menulis naskh), di samping juga menulis banyak sekali qith’ah dan muraqqa’at. Tidak heran jika kemudian beliau dikirim serta ditugaskan oleh Sultan Ahmad III (w. 1736 M) untuk menjalankan haji, lalu tinggal di Madinah Munawwarah selama 4 hingga 5 tahun. Tugas utamanya adalah menyalin salah satu mushaf kaligrafer Hamdullah al-Amasi, Ibnu Syaikh, yang ada di Madinah saat itu.

Konon, khattath Şekerzâde dalam menjalankan tugasnya dalam menulis mushaf, mengambil tempat di Raudhah Muthahharah, hingga selesai menulis 3 sampai 4 mushaf selama masa tugasnya, sebelum kemudian pulang kembali ke Istanbul. Lalu menghadiahkan salah satu mushafnya kepada sultan Mahmud I, yang naik tahta menggantikan Sultan Ahmad III. Mushaf ini hingga sekarang masih tersimpan di perpustakaan Sulaimaniyyah di Istanbul. Salinan dari mushaf tersebut, termasuk mushaf paling indah yang pernah dicetak dengan metode thiba’ah hajariyyah (litografi/pelat logam), dan termasuk langka karena hasil cetakan tersebut lantas diberi hiasan garis yang mengandung emas murni.

Selain menulis naskhi, beliau juga menguasai khot sulus ‘adi. Di samping kedua khat tersebut, belum pernah ditemukan tulisan Şekerzâde yang lain, seperti tsulus jaly atau lainnya. Di masa akhir hidupnya, beliau mengabdikan diri dengan mengajar khat di rumahnya yang terletak di bilangan Hagia Sophia (Aya Sofya), Istanbul. Di samping juga mengajar resmi di “Hadiqah Khassah Sulthaniyyah” yang berada di Istana Topkapı. Beliau meninggal sekitar 1753 M.

Tentang mushaf yang ditulis oleh Şekerzâde, al-Ustadz Zaky Hasyimi menjelaskan bahwa di dalamnya banyak mengandung tasharrufat (improvisasi) yang sangat indah dan menunjukkan kepiawaian beliau dalam membuat susunan tulisan. Pada umumnya tasharufat memang ditemukan di mushaf, karena tabi’at mushaf yang ditulis irtijaliy (langsung dan spontan), sehingga kaligrafer secara spontan juga menulis tarkib yang mungkin aneh dan tidak ada dalam qith’ah atau karya lainnya, karena faktor waktu dan keadaan.

Beberapa kekurangan penulisan sebagaimana yang terjadi pada mushaf yang ditulis oleh orang non-Arab, khususnya khattath Turki, adalah adanya pemenggalan kalimat yang tidak pada tempatnya. Seperti pemenggalan wawu ‘athf dan juga pemenggalan huruf yang seharusnya tertulis pada satu kalimat.

Terlepas dari kekurangan tersebut, baik muraqqa’at maupun mushaf dari khattah Şekerzâde Muhammad Sayyed, sangat perlu untuk Anda sebagai kaligrafer maupun pecinta seni kaligrafi, untuk menikmati dan mengambil banyak pelajaran dari susunan barisnya. Karena mushaf Şekercizâde termasuk mushaf terindah yang pernah ditulis dengan madrasah al-Hafidz Usman. (muhdnur/hamidionline)

Sumber:
Ahmad Shabri Zaid, Tarikh Khot Arabiy wa A’lamul Khattahin, (Kairo: Darul Fadhilah, 2009)
https://ketebe.org
https://www.aksahaber.org
Foto dari berbagai sumber

Continue Reading

Syaikh Hamdullah al-Amasi; Penerus Yaqut al-Musta’shimi

Nama beliau adalah Hamdullah al-Amasi bin Syekh Mustafa Dadah al-Amasi, lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Syekh. Orang tuanya pindah dari Bukhara ke Amasiyah, kemudian bertempat tinggal dan menetap di sana. Syekh Hamdullah lahir tahun 840 H kemudian belajar ilmu-ilmu agama dan mulai menyukai khot ketika belajar kepada gurunya, Khairuddin al-Mar’asyi.

Syaikh Hamdullah hidup pada era pemerintahan Sultan Beyazid II hingga pemerintahan Sulaiman Khan. Saat itulah, mayoritas kaligrafer mengikuti kaidah dan cara menulis Syekh Hamdullah, karena berhasil mengembangkan al-Aqlam as-Sittah sehingga tulisannya bagus dan indah. Karena itu beliau dianggap sebagai “madrasah” pertama dalam silsilah kaligrafer Turki Usmani, dan pewaris serta penerus kejayaan khot era Abbasiyah yang berakhir pada Yaqut al-Musta’shimi.

Selain menulis, Syaikh Hamdullah juga dikenal piawai dalam mengajar. Kepiawaian beliau dalam menulis telah meninggalkan banyak warisan berupa karya-karya ‘abadi’. Di antaranya adalah mushaf sebanyak 47 buah dalam berbagai ukuran, juga menulis buku “Masyariqul Anwar”, serta menulis tidak kurang dari 1000 naskah surat al-An’am, al-Kahfi, juga Juz ‘amma dan buku-buku lainnya, disamping menulis banyak sekali muraqqa’ at dan qitha’. Bukti lain atas tulisan beliau yang langgeng hingga saat ini bisa ditemukan di masjid Sultan Beyazid, tepatnya berada di mihrab, kubah, serta di pintu tengah, dan beberapa tempat lainnya.

Beliau meninggal dunia pada 926 H, dimakamkan di Uskudar. Biografi beliau bisa ditemukan di beberapa buku dalam bahasa Turki seperti “Dauha al-Kuttab” serta buku lainnya. Rahimahullah, rahmatan wasi’atan, amiin. [muhd nur/hamidionline.net]

Credit:
Ahmad Shabri Zaid, Tarikh Khot Arabiy wa A’lamul Khattahin, (Darul Fadhilah, Kairo, 2009)
ward2u.com, hrofiat.com, youm7.com, ar.wikipedia.org

Continue Reading

Ahmad Arif Afandi dan Fahmi Afandi; Murid Muhammad Syauqi

ahmad arif

Ahmad Arif Afandi merupakan salah satu murid dari Muhammad Syauqi. Beliau lahir di kota Falbah, salah satu daerah di perbatasan Bulgaria. Sebelum berguru ke Muhammad Syauqi, beliau menunaikan ibadah haji terlebih dahulu pada tahun 1293 H/1876 M. Sepulang haji, Ahmad Arif Afand pergi ke Istanbul dan membuka toko grosir sebagai salah satu mata pencahariannya. Karena itulah, beliau juga dijuluki baqqal (pedagang).

Di samping berdagang, beliau juga menulis khat yang sebelumnya telah ia pelajari dari khattat Ismail Shabir saat di Falbah dan mendapatkan ijazah pada khat tsulus dan naskh. Rupanya hal tersebut diketahui oleh Muhammad Syauqi, sehingga menyarankan kepada Ahmad Arif untuk melanjutkan belajar khatnya. Saat itulah, Arif Afandi meninggalkan toko dan kesibukan dagangnya dan mulai belajar kepada Muhammad Syauqi di Madrasah Khat “Nur Utsmaniyah” serta menunjungi Muhammad Syauqi dikediamannya. Setelah selesai belajar dari Muhammad Syauqi, Ahmad Arif memiliki banyak sekali murid yang belajar darinya. Dari sekian banyak murid, yang paling terkenal adalah Syaikh Muhammad Abdul Aziz al-Rifai, salah satu kaligrafer yang dikenal dengan sifat ketawadhuan serta kegigihannya.

Ahmad Arif terserang penyakit lumpuh di akhir hayatnya sebelum kemudian meninggal pada tahun 1327 H/1909 M. Beliau meninggalkan banyak karya, di antaranya ada masyq, qit’ah dan hilyah. Salah satu karyanya adalah tulisan basmallah dengan gaya tsulust jali yang ditulis didepan pintu keluar di Universitas Syahzadah Istanbul.

Selain Ahmad Arif, juga terdapat nama lain yang menjadi murid Muhammad Syauqi, yaitu Fahmi Afandi. Beliau adalah seorang penghafal Al-Qur’an bahkan menguasai ilmu qira’aatnya. Fahmi Afandi lahir di Istanbul pada tahun 1267H/1860 M. Belajar kaligrafi dengan tsulust dan naskh dari sang guru, Muhammad Syauqi.

Selain seorang hafidz, Fahmi Afandi juga merupakan qori yang memiliki suara merdu saat melantunkan ayat-ayat suci al-Qur’an. Selain kaligrafer dan juga hafidz, beliau juga sibuk pada bidang lajnah pentashihan al-Qur’an yang mengawasi serta mengoreksi kebenaran tulisan al-Qur’an pasca percetakan.

Karya yang dihasilkan oleh Fahmi Afandi tidak begitu banyak seperti murid lainnya. Meskipun demikian, karyanya memiliki karaktersitik yang sangat menawan, baik dari bentuk serta tarkibnya. Beliau juga memiliki karya berupa hilyah yang tersimpan di museum Topkapi. Sebagai seorang khattat, beliau memiliki akhlak yang bagus, meskipun hidup dalam keadaan terbatas. Beliau wafat pada tanggal 20 Rabiul Awwal 1333 H/ 5 Februari 1915 dan dimakamkan di Istanbul. [Yasir/hamidionline]

Disarikan dari Tarikh Al-Khat al-Aroby wa A’lam al-Khattatin/H. Arif Afandi dan Fahmi Afandi, foto diambil dari kaliem guzel dan website lainnya.

Continue Reading

Kesetiaan Murid Kepada Guru; Muhammad Syauqi (1829-1887 M)

muhammad.syauqi

Muhammad Syauqi adalah salah satu kaligrafer besar dari Turki. Tidak heran jika IRCICA di bawah naungan OKI menggelar perlombaan kaligrafi internasional ke-11 pada tahun ini atas nama beliau. Tentu saja, kebesaran nama dan keabadian tulisannya telah melewati perjalanan panjang dalam menekuni seni yang mulia ini. Hingga di kemudian hari, corak tulisan dan gayanya dalam jenis naskhi (disebut Madrasah Syauqi) akhirnya lebih popular dari corak tulisan kaligrafer berpengaruh pendahulunya, Kadiaskar Mustafa Izzat.

Muhammad Syauqi lahir di Sayyidlar, sebuah nama dari desa Kastamona yang berada di daerah Laut Hitam. Kaligrafer kelahiran tahun 1244 H/1828 M ini berpindah ke Istanbul saat menginjak usia remaja. Dalam belajar khot, Muhammad Syauqi berguru kepada Muhammad Kholusi Afandi (w. 1291 H/1874 M) yang juga pamannya sendiri. Syauqi belajar kepada pamannya hingga berhasil mendapatakan ijazah pada Tsulust, Naskh dan Riqa’ pada tahun 1275 H/ 1841 M.

Kesetiaan Kepada Sang Guru

Pamannya sendiri merupakan khattat pertama yang ditunjuk untuk menjaga buku-buku di perpustakaan yang terkenal di Istanbul. Selain itu, beliau adalah seorang guru yang berbakat dalam seni ini. Banyak sekali kaligrafer handal yang lahir dari didikannya.
Hingga pada suatu saat Kholusi menyaksikan akan bakat yang luar biasa pada diri Syauqi, lalu berkata kepada anak dari saudara perempuannya tersebut: “Anakku, hanya ini yang bisa saya ajarkan kepadamu. Karena itu saya izinkan kamu untuk melanjutkan belajar kepada guru lain yang lebih hebat dariku, yaitu Kadiaskar Musthafa Izzat Afandi. Belajarlah kepadanya hingga nanti engkau akan berkembang dalam seni kaligrafi ini”. Kholusi menyampaikan hal tersebut karena melihat kehebatan yang dimiliki oleh Muhammad Syauqi. Namun justru Muhammad Syauqi menjawab: “Saya tidak akan pergi kepada guru siapapun selain engkau wahai pamanku.” Mendengar jawaban itu, Kholusi hanya bias mendoakan untuk kebaikan dan kemudahan bagi muridnya dan keponakannya, Muhammad Syauqi .

Jika saja Muhammad Syauqi pergi kepada Kadiaskar Mustafa Izzat Afandi, mungkin tidak akan pernah ada madrasah Syauqi, karena secara nasab, tulisan Syauqi akan menjadi kelanjutan dari madrasah “Izzat” sebagaimana Syafiq Bik dan murid Kadiaskar yang lain.

Bukti kesetiaan yang Muhammad Syauqi contohkan kepada gurunya membuahkan keberkahan doa dari sang guru. Hingga doa inilah yang menjadi motivasi bagi Muhammad Syauqi untuk menekuni belajar khat lebih tekun lagi, hingga akhirnya beliau menemukan karakteristik tersendiri dalam menulis khat naskhi khususnya yang diilhami dari karya karya para maestro kaligrafer sebelumnya, seperti Hafidz Othman, Ismail Zuhdi serta Musthafa Raqim dan yang lain, meskipun Muhammad Syauqi tidak belajar secara langsung ke mereka. Dalam pernyataannya yang terkenal dalam cacatan sejarah, Muhammad Syauqi mengatakan bahwa “mereka (para kaligrafer sebelumnya) yang telah mengajariku lewat mimpi”.

Karya Peninggalan Serta Kesaksian

Sebagian karya Muhammad Syauqi berupa mushaf dan beberapa tulisan dari kitab Dalail Khairat, wirid-wirid dan beberapa hilyah. Kelebihan tulisan yang dimiliki Muhammad Syauqi Afandi tersebut telah mendapatkan reputasi yang tidak diragukan di mata kaligrafer dunia pada umumnya. Derajat keindahan tulisannya tersebut menempati posisi yang tinggi karena tingkat detail huruf yang melebihi rata-rata namun tetap anggun dan menarik. Atas sebab inilah, sahabat beliau, Sami Afandi berkata: “Bahwa Syauqi bila menulis tidak pernah bisa menulis jelek, meskipun ia menghendakinya (sengaja menulis dengan jelek)”. Muhammad Syauqi menulis beberapa khat nya dengan tingkat detail yang tinggi, termasuk ketika menulis amsyaq (buku pelajaran) sebagai materi untuk para muridnya.

Kesibukan Muhammad Syauqi lainnya adalahsebagai guru kaligrafi pada Madrasah al-Askariyah di Istanbul. Karenanya, beliau juga dikenal dengan sebutan “munsyi’ kuttab askary”. Pada saat yang sama, beliau juga mengajarkan khat pada putera sultan Abdul Hamid II selama dua tahun setengah.

Muhammad Syauqi wafat pada tanggal 13 Sya’ban 1304 H/ 5 Mei 1887 H, dimakamkan di samping makam paman sekaligus gurunya, Kholusi Afandi pada pemakaman “Markas Afandi” di Istanbul, Turki. Disebutkan ada dua murid handal yang terkenal dari tangan Syauqi, yaitu Arif Afandi dan Fahmi Afandi yang insya Allah nanti akan di bahas pada artikel selanjutnya.

Semoga kisah ini memberikan inspirasi bagi kita untuk selalu setia dengan guru kita, karena keberkahan doa dari seorang guru itulah yang akan menjadi sebab atas kesuksesan kita semua. Semoga beliau para guru kita senantiasa diberi kemudahan, kesehatan, kelapangan dan diberikan yang terbaik dari-Nya. Juga untuk kedua orang tua kita, dan untuk diri sendiri, anak-anak, dan keluarga. ‘Ala hadzinniyyah, al-Fatihah. [Yasir/hamidionline.net]

Penulis juga mengingatkan para pembaca jika ingin berpartisipasi dalam lomba kaligrafi internasional yang diadakan oleh IRCICA, silahkan klik link berikut: https://www.ircica.org/event/11th-international-calligraphy-competition-registration-will-be-closing-on-31-december-2018

Disarikan dari :
Tarikh Al-Khat al-Aroby wa A’lam al-Khattatin/127.
Katalog IRCICA’s 11th International Calligraphy Competition in the name of Mehmed Shawqi Efendi (1245-1304 H/1829-1887 AD)
Talk Show “Santri Zaman Now” Santri Zaman Now | Shihab & Shihab.

Continue Reading

Memburu Kekuatan Doa. Kisah Syaikh Ali At-Tabrizi

ali at-tabrizi

Syaikh Ali at-Tabrizi dikenal sebagai penggagas kaidah pertama pada khat Ta’liq, dimana sampai sekarang jenis khat ini masih terjaga akan kelestariannya. Beliau lahir di sebuah provinsi yang terletak di Afganistan Barat, tepatnya di kota Herat yang juga merupakan ibukota provinsi tersebut. Kota ini terletak di lembah Hari Rud, yang sudah lama terkenal karena minuman anggurnya. Herat juga merupakan kota tua dengan banyak bangunan bersejarah, meskipun beberapa bangunan telah rusak karena berbagai konflik militer pada masa perang Soviet-Afganistan maupun disebabkan oleh perang saudara.

Kota Herat juga dikelilingi oleh benteng yang dibangun pada saat kekuasaan Alexander Agung. Selama abad pertengahan, Herat menjadi kota penting bagi Khurasan, karenanya kota ini dikenal dengan sebutan Mutiara Khorasan. Herāt terletak di jalur perdagangan kuno dari Timur Tengah, India, Tiongkok dan Eropa. Jalur dari Herāt menuju Iran, Turkmenistan, Mazari Sharif, serta Kandahar sampai saat ini masih termasuk jalur transportasi yang penting.

Selain terkenal sebagai penggagas kaidah nasta’liq, tokoh yang lahir pada 881 H/ 1476 M ini juga dikenal sebagai penulis. Bahkan selain itu, beliau juga merupakan imam di segala jenis khat dengan kecerdasan dan semangatnya yang tinggi. Memiliki kemampuan dalam bersyair sehingga mendapat julukan “Al-Katib”.

Menurut catatan sejarah, asal muasal dari ditemukannya kaidah khat nasta’liq adalah ketika syaikh Ali at-Tabrizi bersungguh-sungguh dalam berdoa yang telah ia panjatkan kepada Rabnya. Dalam doanya beliau memohon kepada Allah supaya diajari sebuah tulisan yang yang benar benar baru, tidak pernah ada sebelumnya. Hingga suatu saat ia bermimpi bertemu dengan sayyidina Ali R.A . Disebutkan bahwa Ali R.A kemudian memerintahkan kepadanya untuk memeperhatikan dengan teliti bentuk-bentuk jenis burung dan unggas.

Setelah kejadian tersebut, Syaikh Ali merumuskan apa yang beliau alami dalam mimpinya kedalam bentuk-bentuk khat jenis Ta’liq. Meletakkan kaidah dengan rotasi yang tepat pada setiap hurufnya, mempertimbangkan panjang pendeknya, tebal tipisnya, jarak, akurasi dan ukuran besar kecilnya. Beliau betul betul mempertimbangkan ukuran tersebut yang kemudian dilakukan perbaikan oleh para khattat setelahnya.

Beliau merupakan penulis yang produktif pada khat jenis ini sebelum datangnya Mir Imad al-Hasani. Saat membuat karya, Syekh Ali At-Tabrizi tidak lupa untuk memberikan tanda tangan yang diselipkan di karyanya. Biasanya beliau menuliskan tanda tangan tersebut dengan bentuk: “ali”, atau “al-faqir Ali”, atau “Mir Ali Al-Katib” atau “Ali Sulthani” atau “Ali Husaini” atau “Mir Ali Al-Katib” atau Mir Ali Sulthani” atau “Ali Sulthani” atau “Ali Harawi” atau Ali Husaini Harawi” atau “Ali al-Katib al-Sulthani”.

Selama masa hidupnya, Syekh Ali at-Tabrizi telah melahirkan banyak kaligrafer, salah satunya adalah Mir Mahmud Baqir yang merupakan putranya sendiri. Selain itu ada Khawajih Mahmud Syihabi, Mir Sayyid Ahmad, Mir Husaini Bukhari dan Mir Jumlah. Beliau Meninggal pada tahun 951 H/ 1544 M dan dikebumikan didaerah Bukhara.

Semoga dari kisah beliau dapat mengajarkan kita untuk tidak berputus asa dalam belajar kaligrafi, terutama dalam memburu kekuatan doam karena peran dan kekuatan doa juga memiliki andil yang besar dalam menentukan kesuksesan kita berkaligrafi, selain keridhaan sang guru dan istiqomah dalam belajar. Untuk itu, hendaknya kita tidak lupa untuk selalu berdoa baik sebelum atau setelah kita belajar seni yang mulia ini. Jember, 12/7/18/Yasir/hamidionline.net

Sumber Bacaan:
https://id.wikipedia.org/wiki/Provinsi_Herat
Tarikh Al-Khat al-Aroby wa A’lam al-Khattatin/74.

Credit gambar: www.google.com

Continue Reading

Al-Hafidz Usman; Teladan Dalam Kegigihan Belajar

al-hafidz usman

Banyak kisah nyata tentang kegigihan seorang kaligrafer dalam belajar sebelum akhirnya mencapai hasil yang memuaskan. Demikian pula seorang al-Hafidz Usman yang juga telah menunjukkan kegigihannya dalam belajar seni kaligrafi.

Beliau memulai belajar pada usia 14 tahun kepada Darwisy Ali. Karena faktor usia yang sudah udzur, maka sang guru menyarankan supaya  al-Hafidz Usman melanjutkan belajarnya kepada Suyolcuzade Mustafa Eyyubi, salah seorang murid Darwisy Ali yang berbakat.

Untuk menuju tempat Suyolcuzade Mustafa Eyyubi, konon al-Hafidz Usman harus menempuh perjalanan sekitar 3 jam dengan berjalan kaki. Semangat tersebut tidak surut bahkan ketika musim dingin datang. Jarak jauh dan cuaca yang tidak bersahabat tidak mampu menahan niat kuatnya untuk datang ke tempat sang guru. Begitu selesai belajar dan pulang, dikisahkan bahwa sang guru, Suyolcuzade Mustafa Eyyubi selalu menengadahkan tangannya untuk mendoakan muridnya tersebut. Meskipun guru dan murid tersebut hidup dalam situasi ekonomi yang terbatas, namun rupanya ikatan batin keduanya sangatlah kuat.

Keikhlasan guru dan murid yang tercermin dari cerita di atas, berbuah manis beberapa tahun kemudian. Diiringin dengan kesabaran dan ketekunan, maka al-Hafidz Usman mampu memahami dengan baik rahasia-rahasia tulisan, sehingga berhasil menulis dengan huruf yang kuat dan susunan yang indah, yang belum pernah ditulis oleh kaligrafer sebelumnya. Karena itu, tidak lama kemudian beliau pun menjadi kaligrafer yang cukup dikenal.

Hingga pada saatnya, orang pertama pada Khilafah Turki Usmani saat itu, yaitu Sultan Ahmad III ingin mendalami seni kaligrafi, dan menginginkan untuk belajar khot kepada  al-Hafidz Usman. Sudah menjadi kisah yang turun temurun dituturkan bahwa pintu masuk ke dalam ruangan di mana al-Hafidz Usman mengajar dibuat pendek. Sehingga semua orang yang masuk ke dalam ruangan tersebut harus menunduk, bahkan seorang Sultan sekalipun. Sebuah penghormatan kepada ilmu dan ulama yang mungkin jarang didapatkan saat ini.

Begitu juga dengan adat ketika seorang murid mengoreksikan tulisannya kepada sang guru, maka murid tadi membawakan tempat tinta yang dipakai oleh guru untuk mengoreksi tulisannya. Demikian pula ketika Sultan Ahmad III mengoreksikan tulisannya kepada al-Hafidz Usman, Sultan membawakan tempat tinta tersebut dan dengan penuh ketundukan sebagai seorang murid. Pada kesempatan tersebut, sang Sultan yang sangat kagum dengan gurunya tersebut berkata: “Aku mengira tidak akan ada lagi ‘Hafidz Usman lain’ akan lahir dan bisa menulis seindah ini”. Hafidz Usman pun menjawab: “Jika ada seorang Sultan seperti Anda, yang mau membawakan tempat tinta untuk gurunya, maka saya yakin akan datang banyak al-Hafidz Usman lain setelahku”. Percakapan keduanya bukanlah basa-basi. Namun mengajarkan arti yang dalam, tentang ketulusan dalam belajar, meskipun dia seorang Sultan, dan sifat rendah hati yang dicontohkan oleh seorang guru besar, al-Hafidz Usman. [muhd nur/ hamidionline]

credit: http://borae.ibda3.org/t205-topic

Continue Reading