Khat Kufi dan Perannya dalam Sejarah Penulisan Al-Qur’an

kufi masahif

Melihat dari keindahan Al-Khat ‘Arabi tentu tidak terlepas dari aspek perkembangan dan pembaharuan dari sejak awal munculnya khat ini, baik dari segi bentuk dan jenisnya. Karena tidak ada sesuatu yang sempurna dalam satu tahapan. Semuanya membutuhkan proses untuk sampai pada tahap penyempurnaan. Begitupula dengan khat kufi. Salah satu khat yang termasuk dalam Al-Khuttut Al-Sittah atau lebih sering dikenal dengan Al-Aqlam As-Sittah (Kufi, Tsuluts, Naskhi, Riqa, Muhaqqaq, Tauqi).

Jika membicarakan tentang Khat Kufi, maka tidak akan terlepas dari aspek sejarahnya. Karena khat ini merupakan khat tertua dalam dunia Arab, dan menjadi salah satu saksi dalam sejarah kodifikasi penulisan Al-Qur’an.

Khat Anbar sebagai sejarah awal Khat Kufi

Sejarah kodifikasi Al-Qur’an dimulai sejak masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shidiq atas usulan Umar bin Khattab melihat banyaknya para qurra yang meninggal pada perang Yamamah. Jauh sebelum itu, pada awal datangnya Islam, Rasullullah telah memilih beberapa shohabah untuk menjadi kuttabul wahyi yang bertugas untuk menuliskan wahyu sesuai dengan apa yang diterima oleh Rasullullah. Perlu diketahui bahwa kuttabul wahyi merupakan tugas mulia dan istimewa, mengingat banyaknya masyarakat yang tidak bisa menulis pada saat itu. Untuk itu, makalah ini mencoba membahas sejarah tulisan (khat) dan perannya terhadap penulisan Al-Qur’an pada kodifikasi awal.

Jika merujuk pada zaman munculnya tulisan Arab, maka tidak ada satupun literatur yang dapat menyebutkan secara pasti akan tanggal maupun tahunnya. Akan tetapi, beberapa literatur mengatakan bahwa tulisan (khat) Arab pertama kali dibentuk oleh Basyar bin Abdil Malik (saudara ipar Abu Sufyan) dengan model Khat Nabati. Dari Khat Nabati inilah muncul tiga pencetus pertama tulisan Arab yang memodifikasi ulang dari Khat Nabati. Ketiga pencetus ini lebih dikenal dengan sebutan “Al-Yad Al-Ulaa”, mereka adalah Maromiroh bin Marroh (مرامرة بن مرة), Aslam bin Sadroh (أسلم بن سدرة) dan ‘Amir bin Hadroh (عامر بن حدرة) yang semuanya berasal dari Anbar. Sejak saat itulah kota Anbar menjadi kota pertama munculnya tulisan Arab, dan tulisan Arab dikenal dengan Khat Anbari dinisbatkan pada tempat munculnya khat ini.

Bertahun-tahun setelahnya, khat Anbari dipelajari oleh Utsman bin Affan dan Marwan bin Hakam sebelum datangnya Islam dalam satu kelas yang sama. Khat yang sama juga dipelajari oleh Mu’awiyyah bin Abi Sufyan, Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Tsabit. Merekalah yang nantinya akan menjadi kuttabul wahyi pilihan Rasullullah.

Rasullullah sebagai penggerak penyebaran Khat dalam Islam

Ketika Islam datang, Rasullullah sangat memperhatikan kemajuan umatnya dalam hal tulis-menulis mengingat bahwa masyarakat Jahiliyyah sangat awam dengan tradisi menulis. Tidak heran, karena peralatan tulis-menulis jarang ditemukan pada masa Jahiliyyah di samping adat, budaya dan kebiasaan Jahiliyyah yang memang belum membutuhkan tulisan. Bukan hanya itu, dalam pendapat lain mengatakan bahwa Rasulullah juga berperan dalam estetika Al-Khat Al-Islamy.

Dukungan Rasullullah dalam gerakan khat dapat dilihat sejak Rasullullah hijrah ke Madinah. Hal pertama yang dilakukan Rasul adalah membangun masjid dan mengadakan halaqoh “tulis menulis”, untuk itu secara khusus Rasullulah memilih sendiri guru yang akan mengajarkan halaqoh ini, salah satunya adalah ‘Abdullah bin Sa’id bin ‘As dan ‘Ubadah bin Shomit.

Bukan hanya itu, tetapi Rasullullah juga menjadikan tebusan bagi tawanan perang yang dapat menulis dan membaca untuk mengajarkannya kepada umat muslim di Madinah.

Proses pembelajaran tulis-menulis ternyata tidak hanya terfokus pada laki-laki saja, tetapi Rasullullah juga mendukung dan menyemangati para wanita muslim untuk belajar dan mengajarkan khat. Seperti Asy-Syifa binti ‘Abdillah, Hafshoh ummul mu’minin, Ummu Kultsum binti Uqbah dan ‘Aisyah binti Sa’ad bin ‘Ibadah.

Untuk itulah Rasullullah memerintahkan Hafshoh ra. untuk belajar menulis (khat) kepada Asy-Syifa binti ‘Abdillah, agar ia dapat mengajarkan para wanita muslim akan tulis-menulis. Maka disebutkan dalam sejarah bahwa Hafshoh merupakan salah satu wanita pertama yang mempelajari khat. Al-khatthatah al-ulaa fil Islam.

Berbeda dengan bentuk tulisan sebelum datangnya Islam, karena ketika Islam datang dengan semangatnya terhahap tulisan (khat) maka banyak umat muslim yang mulai memperindah bentuk dan huruf dalam khat. Hal tersebut dimulai sejak Rasullullah memilih sendiri para kuttab –sebutan untuk penulis- untuk menuliskan wahyu dan surat-surat penting yang akan disampaikan para raja-raja sekitar. Sejak saat itu, para kuttab berlomba-lomba untuk memperindah khat masing-masing, karena Rasullullah hanya memilih Ajwad Kuttab, penulis terbaik dengan tulisan yang terindah.

Khat Kufi dan sejarah penulisan awal Al-Qur’an

Tradisi tulis-menulis pun dimulai sejak saat itu. Terlebih ketika Rasullullah memilih beberapa sahabatnya untuk menjadi kuttabnya. Baik penulis wahyu maupun penulis surat untuk diberikan kepada raja-raja sekitar. Kuttab, sebutan untuk penulis, seperti sekertaris pada masa sekarang. Disebutkan dalam sejarah bahwa Rasullullah memiliki 42 orang Kuttab. Dan salah satu kuttabul wahyi yang terkenal adalah Zaid bin Tsabit.

Seiring berjalannya waktu, Khat Anbar semakin berkembang. Dapat dilihat dari bentuknya yang memiliki perkembangan di setiap waktunya. Khat inilah yang dipakai dalam penulisan ayat Al-Qur’an masa kodifikasi awal. Pada masa itulah, Rasullullah menyuruh para penulis istimewa untuk menuliskannya di hadapan Rsaulullulah ketika ayat diturunkan, jika terdapat kesalahan dalam penulisan, maka Rasulullah memberitahukannya.

Dari Zaid bin Tsabit ia berkata bahwa ia pernah menuliskan wahyu pada masa Rasulullah SAW. Ketika itu Rasulullah mendiktekannya, dan ketika ia telah selesai menulis maka Rasulullah memerintahkan Zaid untuk membacakannya, maka Zaid pun membacakan tulisannya dihadapan Rasulullah, jika terdapat kesalahan, maka Rasulullah akan memberitahukannya. Ketika itu ayat-ayat Al-Qur’an masih ditulis dalam lembaran-lembaran kulit, daun, tulang pipih, serta pelepah kurma yang berbeda-beda sesuai dengan situasi turunnya ayat.

Pada masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, dimulailah periode kedua kodifikasi Al-Qur’an atas usulan Umar bin Khattab melihat banyaknya qurra’ dan huffadz (penghafal Al-Qur’an) yang meninggal pada perang Yamamah. Pada masa inilah, Al-Qur’an yang dituliskan para kuttabul wahyi lalu dikumpulkan menjadi satu dan disimpan oleh Abu Bakar hingga ia wafat.

Beberapa lembaran ditulis menggunakan Khat Anbar, dan lembaran lainnya ditulis menggunakan Khat Makki dan Khat Madani sesuai tempat ditulisnya tiap-tiap lembaran.

Dari Khat Anbar inilah yang menjadi asal muasal Khat Kufi dan menjadi asas tulisan dalam penulisan Al-Qur’an hingga akhir kekhilafahan Khulafa Rosyidin. Penamaan khat Kufi dikenal sejak ditaklukkannya Iraq oleh Sa’ad bin Abi Waqqosh pada masa kekhalifah Umar bin Khattab pada tahun 18 H.

Ketika itu, Umar mengirim sebagian umat muslim untuk menempati kota Bashroh dan Kufah tepat setelah kota itu ditaklukkan. Pendapat lain mengatakan bahwa para pendatang dari Madinah mengenalkan khat yang mereka kenal ke Kufah hingga terjadi perkembangan bentuk dan keindahan di dalamnya hingga setelahnya disebut sebagai Khat Kufi. Sejak saat itulah, khat Arabi muncul dan berkembang di Khufah mengikuti perkembangan pemerintahan Islam yang berpusat di Kufah.

Seperti penamaan khat lainnya, disebut “Khat Kufi” karena letaknya di Kufah. Bahkan kemudian Khat Kufi mampu mengungguli keindahan Khat Makki dan Khat Madani pada saat itu. Maka, tidak dapat dipungkiri jika khat Kufi menduduki peringkat teratas, bahkan nama khat ‘Arabi lebih dikenal dengan nama “Khat Kufi” karena tradisi menulis lebih banyak menyebar di Kufah dan tersebar melalui Kufah di samping banyaknya para khattat dari Kufah yang sangat memperhatikan keindahan, bentuk, gaya dan seni dari setiap hurufnya melebihi Khat Madani dan Khat Makki.

Disebukan dalam buku ‘Tarikhul Khat wa Gharaib Rasmihi’ bahwa mushaf pada abad pertama hingga abad kelima hijriyah dituliskan dengan Khat Kufi, dengan pusat penulisan mushaf yang berpusat di masjid Kufah. Salah satu contoh mushaf tertua yang ditulis menggunakan khat Kufi dapat dilihat di museum seni Islam Kairo, ditulis di atas lembaran kulit kijang dengan tinta hitam.

Sumber:
Mujahid Taufiq Al-jundi, Tarikh al-Kitabah wa Adawatiha, Cet.1, 2008
Muhammad Thahir Abdul Qodir Al-Kurdi, Tarikh Al-Khot Al-‘Araby wa Adabihi, Cet. 1, 1939
Muhammad Thahir Abdul Qodir Al-Kurdi, Tarikhul Qur’an wa Gharaib Rasmihi, Cet. 1, (Jeddah: 1365)
Ahmad Shobri Zayid, Tarikh Al-Khat Al-‘Arabi wa A’lamul Khottotin (Kairo: Darul Fadhilah, 1998)

Continue Reading

Menelisik Istilah Rasm Utsmani; Tulisan Ringan Untuk Para Penulis Al-Qur’an

Rasm yang terletak dalam Mushaf Utsmani merupakan salah satu rahasia dalam penulisan mushaf Al-Qur’an, terkait beberapa kalimat dalam Al-Qur’an. Para sahabat menulis Mushaf Utsmani dengan model khusus yang berbeda dari kaidah penulisan imla, yang meliputi kaidah penghapusan (hadzf), penambahan (ziyadah), penulisan ha (hamz), penggantian (badal), penyambungan (Washl), pemisahan (Fasl). Masih tentang Rasm ini, ada baiknya Anda merujuk kembali artikel tentang hubungan rasm dengan Qiraat serta contohnya dalam mushaf.

Pembahasan mengenai Rasm Utsmani tidak akan pernah terlepas dari Mushaf Utsmani itu sendiri. Mushaf Utsmani ditulis pada era Utsman bin Affan sebagai kodifikasi Al-Qur’an yang ketiga, melihat banyaknya umat Islam kala itu yang saling menyalahkan bacaan antara satu dengan yang lainnya. Tidak hanya itu, sebagian orang bahkan mengkafirkan sebagian yang lain akibat perbedaan bacaan dan sedikitnya pengetahuan umat tentang bacaan Al-Qur’an yang diturunkan dengan lahjah yang lain. Oleh karena itu, Utsman bin Affan meminta Zaid bin Tsabit untuk menuliskan kembali Al-Qur’an dengan satu lahjah, yaitu lahjah Quraisy. Setelah proses pentashihan yang panjang hingga dibentuk tim kodifikasi Al-Qur’an, mushaf yang dituliskan oleh Zaid disebar ke berbagai kota. Mushaf ini kemudian disebut sebagai mushaf Utsmani hingga sekarang karena penulisannya dilakukan pada era Utsman bin Affan atas perintahnya.

Sebagaimana Al-Qur’an yang disebarkan menggunakan satu lahjah yang telah disepakati, penulisan yang digunakan pada tiap mushaf yang disebarkan pun menggunakan satu model Rasm, yang selanjutnya disebut dengan Rasm Mushaf Utsmani, agar umat Islam dapat membaca Al-Qur’an melalui satu bentuk tulisan. Karena, perbedaan qiraat akan menyebabkan perbedaan rasm yang ditulis. Oleh karena itu, Utsman bin Affan mengirimkan imam kepada masing-masing kota untuk mengajarkan tentang cara pembacaan mushaf Utsmani dengan rasmnya. Untuk itulah, penulisan Al-Qur’an pada masa setelahnya wajib mengikuti Rasm Utsmani.

Hal ini dilakukan melihat perbedaan tulisan dan rasm pada beberapa mushaf sebelum masa kodifikasi Utsman. Diantaranya penulisan ((لئن أنجانا)) dalam surah Al-An’am yang ditulis menggunakan alif pada mushaf Kufi, sedangkan pada mushaf lainnya menggunakan huruf ta setelah ya ((أنجيتنا)). Perbedaan yang lain ditemukan dalam ayat ((كانوا أشدهم منهم قوة)) pada beberapa mushaf, sedangkan dalam mushaf Syami ditulis dengan menggunakan kaf ((منكم)). Dan beberapa kalimat lain seperti menghilangkan alif pada kaidah yang semestinya, mengganti ya dengan alif dan sebagainya.

Ada perbedaan pendapan mengenai rasm Utsmani, sebagian mengatakan itu merupakan bentuk ijtihat sahabat. Pendapat yang lain mengatakan bahwa pada masa Rasulullah SAW, Rasulullah SAW sendiri yang mendiktekan Zaid bin Rsabit dalam penulisan Al-Qur’an melalui talqin dari Jibril alaihi salam. Seperti penulisan wakhsyaunii dalam surah Al-Maidah ditulis dengan huruf ya’ sedangkan dalam surah Al-Maidah dengan menghapusnya (ya) pada dua tempat di dalamnya. Sedangkan dalam riwayat lain mengatakan bahwa penulisan rasm Utsmani sesuai talaqi dengan Rasulullah pada masa kodifikasi awal, bukan bentukan baru yang dibuat sahabat semata.

Sedangkan terkait hukumnya, tidak ada perbedaan pendapat antara para ulama Semuanya sepakat bahwa penulisan ayat A-Qur’an wajib mengikuti rasm mushaf Utsmani, khususnya bagi mereka yang awan terhadap qiraat yang berbeda dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini, Baihaqi mengatakan bahwa siapa saja yang ingin menulis mushaf, maka ia harus mengikuti penulisan yang tertulis di dalamnya, dalam hal ini berarti rasm mushaf Utsmani. Sedangkan untuk anak kecil yang sedang belajar Al-Qur’an, sebagian ulama memperbolehkan untuk tidak mengikuti rasm Utsmani agar mempermudah dalam pembelajarannya.

Muhammad Thahir menuliskan dalam bukunya Tarikhul Qur’an wa Gharaib Rasmihi tentang tiga kelebihan dalam pemakaian rasm Utsmani. Pertama, membantu umat khususnya era modern dalam tata cara penulisan mushaf. Kedua, menghindari keraguaan dalam penulisan dalam lahjah yang berbeda seperti yang dituliskan sebelumnya. Ketiga, untuk mengetahui makna yang harus dipotong atau disambung dalam beberapa kalimat Al-Qur’an.

Salah satu bentuk rasm utsmani dapat dilihat dari penulisan basmalah yang menghilangkan 3 alif di dalamnya. Pertama, alif dalam penulisan بسم kedua alif dalam penulisan الله ketiga alif dalam penulisan الرحمن, dengan bacaan sesuai dengan kaidah mad dalam pekaidah penulisan yang kita tahu, yaitu باسم اللاه الرحمان الرحيم.

Bentuk lainnya dapat dilihat dari kalimat ((الملئكة)), ((الإنسن)), ((الشيطن)), ((الصرط)), ((العلمين)) dengan menghilangkan alif dan digantikan dengan tanda mad disetiap huruf yang dibaca panjang.

Dalam rasm Utsmani juga ditemukan beberapa bentuk penulisan asing, seperti:

Rasm pada kalimatأفإين مات ditulis dengan penambahan huruf ya sebelum nun

Rasm pada kalimat والسماء بنينها بأييد dan kalimat بأييكم ditulis dengan dua huruf ya pada dua kata yang berbeda.

Rasm pada kalimat سأوريكم دار الفيقين ditulis dengan menambahkan huruf wawu setelah alif

Rasm pada kalimat وجايء يومئذ بجهنم dengan menambahkan hurud alif setelah jim. Dan masih terdapat beberapa penulisan asing dalam rasm Utsmani. Untuk itu, Muhammad Thahir dalam bukunya secara khusus menjelaskan secara terperinci mengenai ayat-ayat yang tertulis menggunakan rasm Utsmani.

Rasm Utsmani merupakan rasm khusus yang digunakan dalam penulisan ayat Al-Qur’an atau mushaf, sedangkan dalam penulisan harian tidak dipergunakan karena bentuk penulisannya yang berbeda dari kaidah imla. Kecuali pada beberapa kalimat dan kata yang sering digunakan dalam keseharian. Seperti kalimat: ((بسم الله الرحمن الرحيم)), ((لا إله إلا الله)), ((الله)), ((ذلك)), ((هأنتم)), ((هؤلاء)) dan lainnya, menggantikan tulisan dalam kaidah imla, seperti ((باسم اللاه الرحمان الرحيم)), ((لا إلاه إلا اللاه)), ((اللاه)), ((هاذا)), ((ذالك)), ((ها أنتم)), ((ها ألاء)).

Melihat penulisan mushaf yang ditulis dengan rasm Utsmani berbeda dengan penulisan kaidah imla, maka dianjurkan bagi para penulis Al-Qur’an untuk memperhatikan rasm Utsmani sebelum menuliskan ayat, untuk menghindari kesalahan dalam penulisan. Karena jika penulisan hanya mengandalkan hafalan semata, maka ditakutkan akan terdapat perbedaan dalam rasm yang dituliskan.

Penulis: Nindhya Ayomi.
Sumber: Muhammad Thahir ibn Abd al-Qadir al-Kurdi, Tarikh al-Qur’an wa Gharaibu Rasmihi wa Hukmuhu, (Jeddah: 1365 H).

Continue Reading

Peran Rasulullah Dalam Perkembangan Kaligrafi Islam

Kaligrafi merupakan salah satu warisan seni dalam Islam yang menunjukkan perkembangan dan kemajuan peradaban Islam dalam segi tsaqafah dan hadharah. Kemajuan ini dapat dilihat dari model kaligrafi yang telah mengalami proses perubahan dari sejak awal munculnya hingga sekarang. Salah satu pengaruh kaligrafi dalam kemajuan peradaban Islam dibuktikan dengan banyaknya bangunan arsitektur Islam yang dihiasi dengan kaligrafi indah dan banyaknya literatur keilmuan Islam yang ditulis oleh para ulama terdahulu. Lebih jauh lagi, ketika Islam datang dengan gerakannya dalam tulis menulis (khat), para sahabat mulai menulis mushafnya masing-masing (sebelum adanya jam’ul Qur’an oleh Utsman bin Affan), sebagian menuliskan hadits yang mereka dapatkan dari Rasulullah dalam setiap majlis. Hal ini merupakan perkembangan yang sangat pesat ketika itu, mengingat masyarakat Arab pada masa pra Islam masih awam terhadap dunia tulis menulis.

Menurut Dr. Mujahid Taufiq (2008: 22) semua kemajuan itu tidak luput dari peran Rasulullah SAW di dalamnya, baik dalam segi gerakan maupun estetikanya terhadap kaligrafi itu sendiri. Hal inilah yang kemudian membuat kaligrafi disebut dengan Al-Khat Al-Islami atau kaligrafi Islam hingga sekarang.

Hal pertama yang dilakukan oleh Rasulullah untuk mengenalkan kaligrafi kepada umatnya adalah dengan menyadarkan umatnya akan pentingnya tulisan. Ada beberapa dalil dari Al-Qur’an dan hadits yang menyebutkan keutamaan dalam menulis, diantaranya tertulis dalam surah Al-‘Alaq: 3-5, Al-Baqaroh, 282, Al-Ankabut, 48, Al-Infithar, 11 dan lainnya. Bahkan dalam surah Al-‘Alaq Allah bersumpah dengan menggunakan kata qalam (pena) dan tulisan yang tergores darinya (surah Al-Alaq, ayat: 1).

Untuk mengenalkan umatnya terhadap dunia tulis menulis, Rasulullah membuat halaqoh di masjid yang ia bangun pasca hijrahnya ke Madinah untuk mengajarkan cara menulis. Untuk itu, beberapa sahabat secara khusus dipilih untuk mengajarkan cara menulis kepada umat muslim, salah satunya Abdullah bin Said dan Ubadah bin Shomit. Gerakan lainnya yaitu dengan menjadikan tebusan tawanan perang yang mampu menulis untuk mengajarkannya kepada 10 orang Madinah (Dr. Mujahid Taufiq, 2008:22).

Ada perbedaan pendapat terkait peran Rasulullah dalam hal ini. Diantaranya mengatakan bahwa Rasulullah hanya berperan dalam menggerakan umatnya untuk menulis, bukan dalam seni kaligrafi (khat). Pemikiran ini berbeda dengan pendapat Muhammad Thahir yang mengatakan bahwa tulisan (al-kitabah), as-satr (Alfarobi, 2003:108) dan al-khat memiliki satu arti yang sama (Muhammad Thohir, 1939:7). Dalam beberapa literatur, istilah khat lebih sering digunakan untuk menunjukkan perkembangan peradaban Islam baik dalam hal tsaqafah maupun hadhoroh, melihat perubahan bentuk, jenis dan keindahan yang berkembang di setiap masanya. Sedangkan dalam kbbi, tulisan indah dengan pena lebih dikenal dengan sebutan kaligrafi, dan penulisnya disebut dengan kaligrafer (kbbi, https://kbbi.web.id/kaligrafi, akses 15 Januari 2020).

Bukti yang menunjukkan peran Rasulullah dalam estetika kaligrafi dapat dilihat dari beberapa hadits, diantaranya hadits Muawiyyah yang tertulis dalam Musnad Firdaus nomor 8533. Diriwayatkan di dalamnya bahwa Rasulullah pernah mengajarkan sekretarisnya (kuttab), Muawiyyah bin Abi Sufyan tentang bentuk penulisan basmalah (Al-Firdaus bilma’tsuril Khithob, 1986: 394 ). Yaitu dengan meninggikan huruf ba’ agar tidak tercampur dengan nibroh sin hingga menimbulkan kesusahan dalam membaca (وانصب الْبَاء) dalam hadits ini juga diajarkan untuk memisahkan nibroh sin, yang artinya dalam penulisan ayat Al-Qur’an, nibroh sin harus terlihat jelas (وَفرق السِّين). Selain itu, Rasulullah juga mengajarkan cara menulis mim yang benar, yaitu agar lingkaran dalam kepala mim terlihat, tidak tertutup oleh tinta (وَلَا تغور الْمِيم).

وقال لكاتبه معاوية رضي الله تعالى عنه ((يَا مُعَاوِيَة ألق الدواة وحرف الْقَلَم وانصب الْبَاء وَفرق السِّين وَلَا تغور الْمِيم وَحسن الله وَمد الرَّحْمَن وجود((

Dari hadits Anas bin Malik yang diriwayatkan dalam Munsad Firdaus nomor 1168 mengatakan bahwa Rasulullah mengajarkan cara menulis mim dalam tulisan Ar-Rahman (Al-Firdaus bilma’tsuril Khithob, 1986: 296), yaitu dengan memanjangkan mim satu pena (فليمد الرَّحْمَن).

((إِذا كتب أحدكُم بِسم الله الرَّحْمَن الرَّحِيم فليمد الرَّحْمَن))

Dalam hadits Zaid bin Tsabit yang diriwayatkan dalam Musnad Firdaus nomor 1087 dijelaskan bahwa Rasulullah mengajarkan cara menulis sin dalam basmalah (Al-Firdaus bilma’tsuril Khithob, 1986: 278), yaitu dengan memanjangkan huruf sin. Dalam riwayat lain mengatakan bahwa maksud dari (فَبين السِّين) yaitu untuk menuliskan nibrah sin dengan jelas dan memisahkannya dari nibrah ba. Karena jika jumlah nibrahnya kurang atau sebaliknya, maka akan merubah makna.

((إِذا كتبت فَبين السِّين فِي بِسم الله الرَّحْمَن الرَّحِيم))

Dapat dilihat dari hadits pertama, bahwa Rasulullah juga mengajarkan sekretarisnya cara menggunakan pena dan tinta. Yaitu dengan memasukkan liiqoh (benang sejenis sutra) kedalam dawah (sebutan untuk tempat tinta) agar mata pena tidak bersentuhan langsung dengan dinding dawah ketika mengambil tinta, karena hal itu dapat menyebabkan mata pena rusak dan pecah (ألق الدواة). Adanya benang dalam dawah juga berguna untuk menjaga kebersihan dan keindahan dalam menulis, karena mata pena tidak mengambil tinta secara langsung karena terhalang oleh benang yang berfungsi untuk menyerap tinta. Cara ini merupakan metode baru yang diajarkan oleh Rasulullah, mengingat tulis menulis merupakan hal yang baru ketika itu. Dan metode sederhana ini masih dipakai oleh para kaligrafer hingga masa seterusnya.

Metode pemotongan pena juga diajarkan oleh Rasulullah, yaitu dengan memotong mata pena secara miring (وحرف الْقَلَم). Metode ini dapat dilihat dari hadits Mua’awiyah sebelumnya. Pemotongan pena merupakan hal paling mendasar dalam penulisan kaligrafi dan menjadi hal terpenting yang menentukan kualitas tulisan.   Dituliskan dalam buku Al-Khat Al-‘Araby wa Adabihi bahwa rahasia seorang kaligrafer terletak pada pemotongan penanya (Muhammad Thohir, 1939:426).

Dalam hadits Muawiyyah yang diriwayatkan oleh Ad-Dailami secara langsung telah membuktikan bahwa Rasulullah memiliki peran besar dalam munculnya kaligrafi Islam. Karena kaligrafi sangat diutamakan untuk menulis ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam hadits ini Rasulullah berpesan untuk menuliskan ayat Al-Qur’an dengan sebaik-baik tulisan yang indah sebagai bentuk pengagungan kita terhadap Allah (وَحسن الله). Al-Kurdi menjelaskan lebih lanjut, bahwa perintah untuk memperindah tulisan dalam hadits ini bukan hanya untuk penulisan basmalah saja, akan tetapi ditujukan untuk semua tulisan (Muhammad Thohir, 1939:13).

((يَا مُعَاوِيَة ألق الدواة وحرف الْقَلَم وانصب الْبَاء وَفرق السِّين وَلَا تغور الْمِيم وَحسن الله وَمد الرَّحْمَن وجود((

Belum cukup sampai di situ, tetapi Rasulullah juga mengajarkan cara menghapus tulisan yang salah hingga tulisan tidak dicoret atau ditulis ulang seperti sebelumnya. Dalam hadits Ali diceritakan bahwa ketika penulisan perjanjian Hudaibiyah, Suhail, salah satu para pembesar Quraisy tidak setuju dengan tulisan “Muhammad Rasulullah” yang tertulis dalam surat perjanjian, karena Quraisy ketika itu tidak mempercayai kenabian Nabi Muhammad. Oleh karena itu, Suhail meminta untuk dihapuskan kalimat “Muhammad Rasulullah”. Ali yang semula menolak akhirnya menggantinya dengan kalimat “Muhammad bin Abdillah” atas perintah Rasulullah setelah Rasulullah menghapus kalimat sebelumnya “Muhammad Rasulullah” dengan air liurnya (Shohih Muslim, tanpa tahun:1410).

 

Referensi:

Al-Farobi, Ishaq bin Ibrahim bin Husain. 2003 Mu’jam Diwanil Adab, jilid.1 (Kairo: Darul Syu’ub Lil-Shofahah wa Thiba’ah)

Al-Hamdzan, Ad-Dailami. 1986. Al-Firdaus Bima’tsuril Khithob, jilid. 5, cet.1 (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah)

Al-Hamdzan, Ad-Dailami. 1986. Al-Firdaus Bima’tsuril Khithob, jilid. 1, cet.1 (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah)

Al-Jundi, Mujahid Taufiq. 2008. Tarikhul Kitabah Al-Arabiyah Wa Adawatiha, cet.1 (Kairo, tanpa penerbit)

Al-Kurdi, Muhammad Thohir Abdul Qodir. 1939 . Al-Khat Al’Araby wa Adaabihi. (Tanpa penerbit)

An-Nisaburi, Muslim bin Hujaj. Tanpa tahun. Al-Musnad Ash-Shohih Al-Mukhtashor binaqlil ‘Adl ‘Anil ‘Adl Ilaa Rasulullah SAW, jilid 3 (Beirut: Darul Ihya At-Turats Al-‘Araby)

kbbi, https://kbbi.web.id/kaligrafi, akses 15 Januari 2020

 

Continue Reading