Kesetiaan Murid Kepada Guru; Muhammad Syauqi (1829-1887 M)

muhammad.syauqi

Muhammad Syauqi adalah salah satu kaligrafer besar dari Turki. Tidak heran jika IRCICA di bawah naungan OKI menggelar perlombaan kaligrafi internasional ke-11 pada tahun ini atas nama beliau. Tentu saja, kebesaran nama dan keabadian tulisannya telah melewati perjalanan panjang dalam menekuni seni yang mulia ini. Hingga di kemudian hari, corak tulisan dan gayanya dalam jenis naskhi (disebut Madrasah Syauqi) akhirnya lebih popular dari corak tulisan kaligrafer berpengaruh pendahulunya, Kadiaskar Mustafa Izzat.

Muhammad Syauqi lahir di Sayyidlar, sebuah nama dari desa Kastamona yang berada di daerah Laut Hitam. Kaligrafer kelahiran tahun 1244 H/1828 M ini berpindah ke Istanbul saat menginjak usia remaja. Dalam belajar khot, Muhammad Syauqi berguru kepada Muhammad Kholusi Afandi (w. 1291 H/1874 M) yang juga pamannya sendiri. Syauqi belajar kepada pamannya hingga berhasil mendapatakan ijazah pada Tsulust, Naskh dan Riqa’ pada tahun 1275 H/ 1841 M.

Kesetiaan Kepada Sang Guru

Pamannya sendiri merupakan khattat pertama yang ditunjuk untuk menjaga buku-buku di perpustakaan yang terkenal di Istanbul. Selain itu, beliau adalah seorang guru yang berbakat dalam seni ini. Banyak sekali kaligrafer handal yang lahir dari didikannya.
Hingga pada suatu saat Kholusi menyaksikan akan bakat yang luar biasa pada diri Syauqi, lalu berkata kepada anak dari saudara perempuannya tersebut: “Anakku, hanya ini yang bisa saya ajarkan kepadamu. Karena itu saya izinkan kamu untuk melanjutkan belajar kepada guru lain yang lebih hebat dariku, yaitu Kadiaskar Musthafa Izzat Afandi. Belajarlah kepadanya hingga nanti engkau akan berkembang dalam seni kaligrafi ini”. Kholusi menyampaikan hal tersebut karena melihat kehebatan yang dimiliki oleh Muhammad Syauqi. Namun justru Muhammad Syauqi menjawab: “Saya tidak akan pergi kepada guru siapapun selain engkau wahai pamanku.” Mendengar jawaban itu, Kholusi hanya bias mendoakan untuk kebaikan dan kemudahan bagi muridnya dan keponakannya, Muhammad Syauqi .

Jika saja Muhammad Syauqi pergi kepada Kadiaskar Mustafa Izzat Afandi, mungkin tidak akan pernah ada madrasah Syauqi, karena secara nasab, tulisan Syauqi akan menjadi kelanjutan dari madrasah “Izzat” sebagaimana Syafiq Bik dan murid Kadiaskar yang lain.

Bukti kesetiaan yang Muhammad Syauqi contohkan kepada gurunya membuahkan keberkahan doa dari sang guru. Hingga doa inilah yang menjadi motivasi bagi Muhammad Syauqi untuk menekuni belajar khat lebih tekun lagi, hingga akhirnya beliau menemukan karakteristik tersendiri dalam menulis khat naskhi khususnya yang diilhami dari karya karya para maestro kaligrafer sebelumnya, seperti Hafidz Othman, Ismail Zuhdi serta Musthafa Raqim dan yang lain, meskipun Muhammad Syauqi tidak belajar secara langsung ke mereka. Dalam pernyataannya yang terkenal dalam cacatan sejarah, Muhammad Syauqi mengatakan bahwa “mereka (para kaligrafer sebelumnya) yang telah mengajariku lewat mimpi”.

Karya Peninggalan Serta Kesaksian

Sebagian karya Muhammad Syauqi berupa mushaf dan beberapa tulisan dari kitab Dalail Khairat, wirid-wirid dan beberapa hilyah. Kelebihan tulisan yang dimiliki Muhammad Syauqi Afandi tersebut telah mendapatkan reputasi yang tidak diragukan di mata kaligrafer dunia pada umumnya. Derajat keindahan tulisannya tersebut menempati posisi yang tinggi karena tingkat detail huruf yang melebihi rata-rata namun tetap anggun dan menarik. Atas sebab inilah, sahabat beliau, Sami Afandi berkata: “Bahwa Syauqi bila menulis tidak pernah bisa menulis jelek, meskipun ia menghendakinya (sengaja menulis dengan jelek)”. Muhammad Syauqi menulis beberapa khat nya dengan tingkat detail yang tinggi, termasuk ketika menulis amsyaq (buku pelajaran) sebagai materi untuk para muridnya.

Kesibukan Muhammad Syauqi lainnya adalahsebagai guru kaligrafi pada Madrasah al-Askariyah di Istanbul. Karenanya, beliau juga dikenal dengan sebutan “munsyi’ kuttab askary”. Pada saat yang sama, beliau juga mengajarkan khat pada putera sultan Abdul Hamid II selama dua tahun setengah.

Muhammad Syauqi wafat pada tanggal 13 Sya’ban 1304 H/ 5 Mei 1887 H, dimakamkan di samping makam paman sekaligus gurunya, Kholusi Afandi pada pemakaman “Markas Afandi” di Istanbul, Turki. Disebutkan ada dua murid handal yang terkenal dari tangan Syauqi, yaitu Arif Afandi dan Fahmi Afandi yang insya Allah nanti akan di bahas pada artikel selanjutnya.

Semoga kisah ini memberikan inspirasi bagi kita untuk selalu setia dengan guru kita, karena keberkahan doa dari seorang guru itulah yang akan menjadi sebab atas kesuksesan kita semua. Semoga beliau para guru kita senantiasa diberi kemudahan, kesehatan, kelapangan dan diberikan yang terbaik dari-Nya. Juga untuk kedua orang tua kita, dan untuk diri sendiri, anak-anak, dan keluarga. ‘Ala hadzinniyyah, al-Fatihah. [Yasir/hamidionline.net]

Penulis juga mengingatkan para pembaca jika ingin berpartisipasi dalam lomba kaligrafi internasional yang diadakan oleh IRCICA, silahkan klik link berikut: https://www.ircica.org/event/11th-international-calligraphy-competition-registration-will-be-closing-on-31-december-2018

Disarikan dari :
Tarikh Al-Khat al-Aroby wa A’lam al-Khattatin/127.
Katalog IRCICA’s 11th International Calligraphy Competition in the name of Mehmed Shawqi Efendi (1245-1304 H/1829-1887 AD)
Talk Show “Santri Zaman Now” Santri Zaman Now | Shihab & Shihab.

Continue Reading

Al-Khattath Al-Hafidz Usman (1642-1698 M)

al-hafidz usman

Tokoh kita kali ini adalah Usman bin Ali Afandi. Seorang mu’adzin di Masjid Haseki yang terletak di daerah Fatih, Istanbul Turki. Hafal al-Qur’an sejak kecil. Karena itulah beliau diberi gelar al Hafidz. Al-Hafidz Usman lahir di Konstantinopel (Istanbul) pada tahun 1642 M. Tumbuh dan menghabiskan masa remajanya di tanah kelahirannya, Istanbul, Ibu kota Khilafah Islamiyah dan ibukota para Ulama pada waktu itu.

Pada mulanya al-Hafidz Usman lebih cenderung mendalami ilmu fikih, sastra serta ilmu keagamaan lainnya. Karena itulah, beliau dekat dengan banyak ulama dan pemuka agama, di mana mayoritas dari para ulama tersebut juga seorang kaligrafer. Dari kedekatan beliau dengan para ulama ini pula, muncul dorongan yang kuat untuk belajar menulis dan mendalami seni kaligrafi.

Belajar Khot

Darwish Ali
Lauhah karya Darwisy Ali, guru dari al-Hafidz Usman. credit. www.mobda3.net

Al-Hafidz Usman mulai belajar khot pada seorang kaligrafer terkenal, Syaikh Darwisy Ali ar-Rumi (w. 1673). Berkat bimbingan sang guru dan kegigihannya, beliau berhasil menguasai dengan baik semua pelajaran dari gurunya, kemudian mengasah kemampuan menulisnya dengan meniru tulisan para kaligrafer-kaligrafer sebelumnya.

Pada saat itu, sang guru, Darwisy Ali telah memasuki usia lanjut. Karena sebab tersebut beliau berinisiatif untuk ‘mengirim’ al-Hafidz Usman kepada salah salah satu murid terbaiknya, Suyolcuzade Mustafa Eyyubi (w. 1685), untuk melanjutkan belajarnya. Di tangan gurunya yang terakhir ini, Hafidz Usman mampu menunjukkan kemampuan terbaiknya, dan memperoleh ijazah dari sang guru pada usia 18 tahun.

Lauhah karya Suyolcuzade Mustafa Eyyubi

Al-Hafidz Usman dikenal memiliki kesabaran dan ketekunan yang tinggi serta ulet dalam berlatih. Hal inilah yang mengantarkan beliau mampu menguasai rahasia-rahasia menulis lebih dalam dan detail, bahkan mengungguli para gurunya. Tidak heran jika kemudian nama beliau segera dikenal banyak orang. Dengan akhlak dan adabnya yang tinggi pula beliau bisa diterima oleh banyak kalangan, baik masyarakat umum maupun keluarga Sultan. Demikian pula tulisannya yang dikenal indah menjadi incaran para kolektor kelas atas dan dijual dengan harga tinggi.

Al-Hafidz Usman telah diberi Allah swt anugerah yang jarang dimiliki oleh kaligrafer lainnya. Beliau berperan banyak dalam menyempurnaan huruf-huruf khot naskhi, sehingga mempunyai ciri khas tulisan tersendiri. Karena itu muncullah corak (madrasah) Hafidz Usman dalam khot naskhi, yang diikuti oleh para kaligrafer setelahnya, karena keindahan tulisannya yang belum pernah ada pada waktu itu.

Pada tahun 1694 M, al-Hafidz Usman dilantik sebagai guru kaligrafi bagi Sultan Musthafa Khan. Sang Sultan kemudian bahkan memberi kepercayaan kepadanya untuk menjadi Hakim di wilayah Diyar Bakr, karena melihatnya tepat dan bisa dipercaya.

Ta’dzim Kaligrafer Turki Kepada al-Hafidz Usman

Ta’dzim dan penghormatan para kaligrafer Turki kapada al-Hafidz Usman sangatlah besar, bahkan terkesan berlebihan. Mereka menganggap bahwa tidak ada lagi setelah Hafidz Usman yang mampun mencapai apa yang telah beliau capai dalam kaligrafi. Bahkan jika disebut nama al-Hafidz Usman, mereka berdiri untuk menghormati nama tersebut.

Menulis Mushaf

Al-Hafidz Usman telah menulis setidaknya 25 mushaf. Mushaf yang beliau tulis mempunyai kelebihan pada sisi keindahan huruf, keserasian susunan kalimat, kerapihan serta kemudahan dalam membaca. Tidak heran jika mushaf beliau telah ratusan kali dicetak di berbagai percetakan dan diedarkan di banyak negara Islam. Hingga saat ini, mushaf yang ditulis oleh al-Hafidz Usman masih termasuk mushaf paling indah yang pernah ditulis. Bahkan tidak sedikit orang yang kemudian memberikan istilah mushaf Hafidz Usman, terhadap mushaf yang memiliki huruf-huruf yang jelas, serta keindahan dalam susunan dan mudah dibaca.

Helyah Syarifah

Al-Hafidz Usman disebut-sebut sebagai orang pertama yang menulis Helyah Syarifah dengan bentuk yang saat ini kita kenal. Bahkan menjadi sebuah adat di kalangan kaligrafer saat ini, untuk menunjukkan kepiawaiannya dalam menulis sebuah jenis khot, mereka menulis Helyah Syarifah. Bahkan beberapa ijazah khot pun diberikan dalam bentuk menulis Helyah Syarifah.

Wafat Beliau

Al-Hafidz Usman layak masuk ke dalam barisan mujaddid khot seperti halnya Syaikh Hamdullah al-Amasi. Banyak yang belajar kepada Hafidz Usman dan memberi persaksian akan sifatnya yang lembut dan pemurah. Dalam keseharian beliau juga nampak aura seorang alim yang zuhud. Hingga pada tahun 1695 M beliau terkena penyakit lumpuh sebelah hingga meninggal beliau di Istanbul pada tahun 1698 M.

article credit: www.art.gov.sa
image credit: www.ward2u.com

 

 

Continue Reading

Ibnu Muqlah, Sang Menteri Pencetus Khot Mansub

ibnu muqlah

Ibnu Muqlah merupakan nama yang ‘wajib’ diketahui oleh setiap kaligrafer. Untuk
mencari siapa beliau, tidak terlalu sulit. Bahkan sudah sangat banyak artikel
membahas tentang biografi Ibnu Muqlah. Karena itu, sedikit ulasan berikut ini
kami harap bisa menjadi pelengkap dari informasi yang sudah ada.

Nama lengkap Ibnu Muqlah adalah Muhammad bin Ali bin al-Husain Ibnu Muqlah.
Kaligrafer era Daulah Abbasiyah yang tidak perlu diperkenalkan lagi karena kemasyhurannya. Lahir pada hari Kamis setelah ashar, pada akhir bulan Sawwal 272 H di Baghdad, meninggal pada hari Ahad, 10 Syawwal 328 H. Ibnu Muqlah adalah pemilik gagasan untuk mengubah bentuk khot dari kufi menjadi ‘bentuk dasar’ dari jenis khot yang kita lihat saat ini. Meskipun demikian, beliau juga bisa disebut sebagai penerus seorang kaligrafer pada akhir era Daulah Umawiyah yang bernama Quthbah Muharrar, karena usaha untuk memperbaiki dan mengubah khot kufi menjadi lebih indah, telah ada sejak akhir Daulah Umawiyah.

Ketika Islam mulai menyebar di jazirah Arab, tulisan yang dipakai oleh masyarakat ketika itu dikenal dengan nama khot al-Anbari al-Hiiry. Jenis ini ketika berpindah ke Hijaz disebut khot Hijazi. Khot Hijazi inilah yang menjadi cikal bakal bentuk khot naskhi. Namun demikian, hanya sedikit orang Quraisy saat itu yang bisa menulis khot Hijazi ini, tidak lebih dari belasan orang saja. Tonggak sejarah menyebarnya tulisan di kalangan umat Islam adalah ketika Islam berhasil memenangkan berang Badar dan berhasil menawan sejumlah tawanan. Untuk tawanan yang bisa menulis, maka tebusannya adalah mengajar menulis kepada 10 anak muslim Madinah. Sehingga tidak heran jika sebelum al-Qur’an selesai diturunkan, Rasulullah saw telah mempunyai sedikitnya 40 sahabat sebagai penulis al-Qur’an.

khot hijazi
Salah satu lembaran mushaf ditulis dengan khot Hijazi. Khot ini ditulis tanpa titik sebagaimana jenis khot Suriyani saat itu. (sumber qenshrin.com)

Ibnu Muqlah dalam mengubah khot Hijazi menjadi bentuk yang lebih indah dan lentur seperti yang kita lihat saat ini, telah melakukan perhitungan secara geometris untuk setiap bentuk huruf dengan titik sebagai ukuran. Ibnu Muqlah belajar khot kepada al-Ahwal al-Muharrar, bersama saudaranya, Abdullah bin Muqlah yang wafat sepuluh tahun setelahnya. Salah satu bukti kepiawaiannya dalam menulis, Ibnu Muqlah telah menyalin mushaf sebanyak dua kali.

Ibnu Muqlah menyebutkan bahwa pondasi tulisan yang benar serta indah bentuknya
minimal ada lima hal, yang lebih populer dengan husnu at-tasykil:

  1. Taufiyah; yaitu memenuhi hak setiap bagian huruf dengan bentuk tertentu
    sebagaimana mestinya. Seperti bentuk melengkung, lurus, miring dan sebagainya.
  2. Itmam; yaitu memberi hak pada setiap huruf dengan ukuran yang telah ditentukan.
    Seperti panjang, pendek, tebal dan tipis.
  3. Ikmal; yaitu menyempurnakan bentuk pada huruf (taufiyah) dengan kadar yang benar dan rasio yang tepat.
  4. Isyba‘; yaitu memberikan setiap huruf bagian tebal dan tipis sebagaimana mestinya. Pada bagian tertentu yang semetinya sama ditulis dengan ketebalan sama dan tidak berbeda-beda. Demikian pula pada huruf yang semestinya tipis, maka haknya pun harus sempurna ditulis dengan tipis.
  5. Irsal; yaitu menulis dengan tangan yang lancar dan tidak terputus-putus di beberapa bagian dikarenakan gemetar atau sengaja berhenti karena sebab lainnya.

Dalam sebuah riwayat disebukan bahwa Ibnu Muqlah adalah penulis perjanjian
antara Muslimin dengan Romawi, tulisan tersebut diletakkan pada Gereja
Konstantin. Pada hari-hari besar, tulisan tersebut dipamerkan kepada khalayak
karena keindahan tulisannya, dan ditetapkan sebagai salah satu hiasan pada
tempat suci bangsa Romawi.

Ibnu Muqlah lebih dikenal dengan gelar “al-wazir” yang berarti menteri. Gelar tersebut disematkan karena beliau pernah menjadi menteri dari pada masa tiga khalifah pemerintahan Bani Abbasiyah, di antaranya adalah Muqtadir Billah, kemudian al-Qahir Billah, lalu Arradhi Billah. Sementara nama “muqlah” yang berarti bola mata, diambil dari nama ibunya. Dimana ketika kecil, kakeknya selalu menimang sang ibu dan mengatakan “ya muqlata abiiha”. Sebutan muqlah inilah yang kemudian beliau warisi dari sang Ibu, sehingga kaligrafer besar kita, Muhammad bin Ali bin al-Husain lebih dikenal hingga saat ini dengan sebutan Ibnu Muqlah.

Selain kaligrafer yang mempunyai sumbangsih sangat besar; yaitu arsitek huruf yang merubah tulisan arab dari bentuk kufi menjadi bentuk lentur dan mempunyai ukuran titik seperti yang kita lihat sekarang, beliau juga seorang penyair handal, ahli pidato, dan sastrawan ulung. Di antara murid Ibnu Muqlah yang belajar khot darinya adalah; Muhammad bin Asad al-Katib (w.410) dan Muhammad as-Samsamani. Dari Muhammad bin Asad al-Katib ini, Ali Ibnu Hilal yang lebih dikenal sebutan Ibnu al-Bawwab belajar khot. [muhd nur/hamidionline]

Diterjemahkan dari buku Ahmad Shabri Zaid, Tarikh Khat Arabiy, Darul Fadhilah, (Kairo: 1998) hal. 43

Continue Reading

Kaligrafer Indonesia Juara Pertama di Lomba 7tepe7sanat Turki

huda purnawadi


Kembali seorang kaligrafer muda berbakat Indonesia menorehkan prestasi yang membanggakan. Ustadz Huda Purnawadi, kaligrafer dari Pati berhasil mengungguli kaligrafer dari negara-negara lain dan memperoleh posisi pertama pada cabang kaligrafi kategori jaly sulus, pada even 7tepe7sanat International Istanbul Classic Arts Competition tahun 2017. Prestasi ini menunjukkan hasil ketelatenan, kerjakeras, kesabaran dan kesungguhan. Selain itu, prestasi beliau tidak muncul secara instant, namun perlu waktu yang panjang dalam belajar maupun berkarya. Demikian pengakuan Ustadz Huda sebagaimana dilansir oleh fokuspati.

huda purnawadi
Ustadz Huda Purnawadi, Jaly Sulus – Juara 1 lomba 7tepe7sanat 2017.

Even yang digelar oleh pemerintah kota Uskudar Turki bekerjasama dengan yayasan wakaf Klasik Turk Sanati Vakfi tahun ini merupakan kali ke-2 setelah even perdana dilaksanakan tahun 2015. 7tepe7sanat International Istanbul Classic Arts Competition ini terdiri atas beberapa cabang lomba, di antaranya adalah kaligrafi (jaly sulus dan sulus-naskhi), gilding, miniature, paper cutting,  marbling, tile dan binding. Sedangkan tujuan utama dari penyelenggaraan even ini adalah menjaga kelestarian seni-seni klasik, termasuk kaligrafi.

Selain Ustadz Huda Purnawadi, satu putra Indonesia juga masuk pada urutan ke-lima, yaitu Ustadz Syahriansyah Bin Sirajuddin dari kalimantan, pada katogori yang sama. Pada even perdana tahun 2015, Ustadz Syahriansyah juga telah berhasil memperoleh posisi yang sama, juga pada kategori yang sama.

Syahriansyah
Ustadz ŞahryanŞah Sirajuddin, Jaly Tulus – Juara 5, lomba 7tepe7sanat 2017.

Prestasi Kaligrafer Indonesia Membanggakan!

Kedua kaligrafer Indonesia di atas termasuk kedalam sederet nama kaligrafer tanah air yang produktif dalam berkarya dalam dunia kaligrafi serta aktif mengikuti perlombaan-perlombaan internasional. Untuk menyebut beberapa nama yang juga pernah mengukir prestasi di lomba kaligrafi internasional seperti; Ustadz Isep Misbah, Ustadz Teguh Prastio, Ustadz Muhammad Zainuddin, Ustadzah Nur Hamidiyah, Ustadz Feri Budiantoro, Ustadz Alim Gema Alamsyah, Ustadzah Novitasari Dewi, Ustadz Jimly Ashari, Ustadz Darmawan dan lainnya. Keikutsertaan para kaligrafer tanah air dalam even lomba kaligrafi internasional, tentu membuka cakrawala baru, dan mau tidak mau diakui memberi warna baru dalam dunia kaligrafi di tanah air.

Apalagi partisipasi kaligrafer tanah air pada even tersebut, cukup baik bahkan membawa prestasi yang patut diapresiasi. Bahkan keberadaan mereka saat ini pun diperhitungkan oleh para kaligrafer lain. Pengalaman yang membuat kaligrafer matang, seharusnya didukung oleh even serupa di tanah air, atau metode pembelajaran yang mendukung lahirnya kaligrafer dengan kekuatan huruf yang mumpuni serta penguasaan yang baik terhadap kaidah. Tidak melulu eksplorasi warna dan bentuk baru yang cenderung jauh dari kaidah, bahkan membuat para pembelajar dan kaligrafer pemula bingung.

Tantangan Lomba Kaligrafi Indonesia

Kematangan para kaligrafer tahan air dalam lomba kaligrafi internasional juga akan memberikan wawasan tentang lomba kaligrafi yang baik. Lomba kaligrafi yang benar-benar mengedepankan kualitas tulisan dan menghargai orisinalitas karya seseorang. Lomba kaligrafi juga tidak hanya soal besarnya hadiah atau banyaknya bonus. Namun tidak berarti lantas mengabaikan hak yang sepadan bagi para pemenang, bahkan menunaikan hak tersebut telah menjadi konsekuensi logis dari sebuah lomba yang baik agar bisa menjadi contoh dan teladan.

Lomba kaligrafi yang saat ini diperlukan di Indonesia menurut penulis adalah lomba yang berkesinambungan dan mengacu kepada pembentukan mental dan karakter seorang kaligrafer maupun penyelenggara lomba yang kompeten dan berdedikasi tinggi. Even lokal setidaknya menjadi pemanasan kaligrafer tahan air untuk bersaing dalam even lebih besar. Sehingga tidak berkutat dan terjebak pada model lomba dan kaligrafi yang selama ini ada, dan bahkan memaksakan diri untuk diakui eksistensinya. Karena saat ini, pintu untuk bersaing secara global telah terbuka, dan saatnya menyiapkan genarasi yang akan datang, supaya lebih bisa berkiprah lebih dari yang sekarang sudah ada. Wallahua’lam. [muhd nur/hamidionline]

Continue Reading

Sifat Seorang Kaligrafer; Anda Di Mana?

sifat-kaligrafer

Seorang kaligrafer pada umumnya mempunyai sifat sensitif dan kepekaan yang tinggi, sopan, serta kuat dan sabar. Di samping itu, kaligrafer dikenal dengan sifat tenang, tidak mudah gugup, serta menghindari pekerjaan yang sia-sia. Seorang kaligrafer adalah dia yang mengerjakan sesuatu dengan sepenuh hati dan menyelesaikannya dengan maksimal. Dalam dirinya tumbuh rasa kepekaan yang tinggi terhadap keindahan di sekelilingnya.

Seorang kaligrafer tidak tenang jika melihat sebuah huruf yang tertulis bengkok atau tidak sesuai dengan kaidahnya. Dia akan puas mencerap keindahan huruf dengan berbagai macam bentuknya yang mempesona, tulisan yang indah. Karena itu, beberapa orang berhenti dari menulis jika merasakan jiwanya kurang stabil, hingga kembali siap berinteraksi dengan huruf dalam ketenangan jiwa.

Seorang kaligrafer dengan apa yang disukainya, akan tercermin dalam kepribadian serta penampilannya. Huruf-huruf dalam seni khot, bagi seorang kaligrafer lebih indah daripada lukisan, musik, dan seni lain yang tercerap lewat indera. Dahulu kala ada yang berkata, bahwa jika seni adalah dunia; maka musik adalah lisannya, lukisan adalah badannya, serta lagu adalah nuraninya. Sementara khot, mencakup semua itu; ia adalah lisan, badan dan nuraninya.

Beberapa orang yang berhasil menyelami seni kaligrafi hingga mencapai puncak penghayatan dan keindahan tulisan merasakan cemburu terhadap huruf-huruf tersebut, sehingga terkesan ‘bakhil’ dan pelit, tidak mau mengajarkan seni ini.

Diriwayatkan bahwa kaligrafer ad-Dhahhak bin ‘Ajlan, jika ingin meraut penanya, dia menyingkir dari orang-orang, supaya tidak dilihat oleh mereka. Ad-Dhahhak berkata: kaligrafi sepenuhnya ada pada pena!! (al-Qalqasyandi, Subhul A’sya fi sina’ati al-Insya, juz 3, hlm 456)

Seperti itu pula yang diriwayatkan tentang kaligrafer al-Anshari ketika dia meraut penanya. Dan jika beranjak meninggalkan kantor tempat dia menulis, tidak lupa dia potong ujung mata penanya supaya tidak dilihat orang. Sebagaimana yang dia tiru dari gurunya, al-Ahwal al-Muharrar, di mana beliau terkenal dengan rautan penanya yang enak dipakai untuk menulis. Hal ini pula yang dilakukan oleh Ibn al-Bawwab, beliau tidak membolehkan seorang kaligrafer dengan mudah-mudah menunjukkan rahasia memotong pena. Dalam bait qasidah-nya beliau menyebutkan

فاصرف لرأي القط عزمك كله #  فالقط فيه جملة التـــــدبــــيــر
لا تطمعن في أن أبوح بســـره   #  إني أضن بسره المـــــستـــور

Meskipun terlihat ‘pelit’, bait tadi tidak pernah mendapat kritikan, karena dalam dunia kaligrafi, hal ini telah menjadi sesuatu yang umum diketahui.

Dalam buku “al-Isyraq”, az-Zubaidi mengatakan bahwa di antara kaligrafer awal masa turki Usmani adalah Abdullah Afandi al-Quraimi at-Turki. Beliau menulis dengan bentuk huruf Syaikh Hamdullah al-Amasi, dengan cara meniru dan ‘mencuri’ dari Syaikh Hamdullah. Abdullah Afandi mengaku pernah minta belajar kepada Syaikh Hamdullah namun beliau tidak mau mengajarinya. Hingga kemudian sifat ‘bakhil’ syekh Hamdullah ini membuat Abdullah Afandi bersungguh-sungguh hingga mampu menguasai khot dengan baik bahkan beberapa kali menulis mushaf.

Fauzi Salim Afifi, dalam bukunya Dirasat fi al-Khat al-‘Arabiy menyebutkan bahwa beberapa kaligrafer besar mendapatkan gelar sebagai penghargaan atas sumbangsih dan ketokohannya dalam dunia kaligrafi. Ibnu Muqlah misalnya, dikenal dengan gelar Wazir al-Khatt (menterinya khat) bahkan ada yang menyebutnya Nabiyyul Khat (nabinya khat), sedangkan Yaqut al-Musta’shimi lebih dikenal sebagai Qiblatu al-Kuttab ( kiblatnya para kaligrafer). Demikian pula Syaikh Hamdullah al-Amasi, dikenal dengan Syaikh (Syaikh para kaligrafer), sedangkan Darwisy Ali dikenal dengan as-Syaikh as-Tsani (syaikh kedua), dan al-Hafidz Usman dikenal dengan as-Syaikh as-Tsalits (syaikh ketiga).

Kaligrafer besar Ahmed Karahisari disebut dengan Quthbul Khat (kutub/muara khat), sedangkan  ‘Abdullah az-Zuhdi lebih dikenal dengan Khattath al-Haramain (kaligrafer dua tanah suci), sedangkan Syaikh Muhammad Aziz ar-Rifa’i dikenal dengan Amir al-Khat (pangeran kaligrafi) abad dua puluh. Sebagaimana al-Hajj Ahmad Kamil dikenal dengan Rais al-Khattathin (kepala para kaligrafer), dan juga Sayyid Ibrahim dikenal dengan sebutan ‘Amid al-Khat al-Arabi (penghulu seni kaligrafi). [muhd nur/hamidionline]

Diterjemahkan dari buku Ahmad Shabri Zaid, Tarikh Khat Arabiy, Darul Fadhilah, (Kairo: 1998) hal. 40

Continue Reading

Prof Ugur Derman; Kaligrafer Akademisi Produktif

ugur derman

Mulai menyukai seni kaligrafi Usmani dan mulai menulis kaligrafi pada usia yang masih muda. Musthafa Ugur Derman perguru kepada kaligrafer multi telenta, Necmeddin Okyay sejak tahun 1955. Di samping itu, belaiu mengambil banyak pengalaman dari kaligrafer lainnya, seperti Dr. Suheyl Unver, Macid Ayral, Halim Ozyazici, and Nihad Cetin.

Prof Musthafa Ugur Derman mendapatkan ijazah pada khot nasta’liq dari gurunya Necmeddin Okyay. Namun demikian, beliau lebih memfokuskan diri untuk meneliti dan menulis buku dan makalah tentang perkembangan kaligrafi serta sejarahnya.

Tidak kurang dari 25 buku dan 500 makalah tentang kaligrafi yang telah beliau tulis, membuktikan dedikasinya yang tinggi kepada sini luhur ini. Di samping peran aktif dalam berbagai penjurian seni kaligrafi internasional, mengisi seminar, dan sekaligus tempat konsultasi para kaligrafer yang ingin mematangkan keilmuan maupun kualitas tulisannya. Muhammad Ozcay dan Osman Ozcay di antara kaligrafer yang pernah mengambil ilmu dari beliau dengan mengunjungi koleksi pribadi dan berdiskusi tentang karya-karya kaligrafi.

Di samping aktifitas tersebut, Prof Musthafa Ugur Derman juga aktif memberi kuliah pada beberapa Universitas. Beliau mendapatkan gelar professor kehormatan dari Universitas Mimar Sinan pada tahun 1997. Bahkan pada tahun 2009, beliau mendapat penghargaan dari pemerinta Turki dan berhak atas Grand Prize for Culture and Art atas kiprah dan kontribusinya dalam seni kaligrafi.

Beberapa buku yang telah beliau tulis adalah; Letter in the Gold (New York; 1998), The Art of Calligraphy in the Islamic Heritage (Istanbul, 1998), Calligraphies Ottomanes (Paris, 2000), Eternal Letters (Sharjah, 2009), and Ninety-Nine QurТan Manuscrips from Istanbul (Istanbul, 2011). Saat ini beliau masih aktif dalam berbagai even kaligrafi baik di Turki maupun di negara-negara lainya.

* Disarikan dari katalog Dubai International Arabic Calligraphy Exhibition, April 2007. [muhd nur/ hamidionline]

Credit:

  • http://kalemguzeli.net
  • http://www.eskader.net
  • http://cdncms.zaman.com.tr
  • http://www.kubbealti.org.tr
Continue Reading

Nuria Garcia Masip; Sosok Langka Kaligrafer Wanita

Nuria Garcia Masip lahir tahun 1978 di Ibiza, Spanyol. Hidupnya berpindah-pindah antara Spanyol dan Amerika. setelah menyelesaikan gelar B.A. pada Washington University, tahun 1999 Ustadzah Nuria Garcia pergi ke Maroko untuk mendalami Seni Islam yang dia gemari, dan pada rentang waktu tersebut, beliau belajar khot maghribi kepada Ustadz Belaid Hamidi. Pada tahun berikutnya (2000) beliau kembali ke Washington D.C dan mulai belajar khot riq’a, sulus, dan naskh dari Kaligrafer Amerika, Muhammad Zakaria.

Pada tahun 2004, Ustadzah Nuria Garcia pindah ke Istanbul dan melanjutkan belajar sulus serta naskh langsung dari guru gurunya (guru dari Muhammad Zakaria), yaitu Syaikh Hasan Çelebi dan juga dari Ustadz Dawud Bektasy. Tahun 2007, atas dukungan dan sponsor IRCICA (Research Center for Islamic History, Art and Culture), Nuria Garcia memperoleh ijazah pada dua khot tersebut (tsulus dan naskh) dengan tanda tangan dari tiga gurunya (Hasan Çelebi, Dawud Bektasy dan Muhammad Zakaria).

Saat ini, Ustadzah Nuria Garcia Masip tinggal di Munic, Jerman. Namun demikian, secara rutin dia mengadakan kunjungan ke Turki untuk terus belajar dan mengambil ilmu dari para Master Kaligrafi Turki. Kesibukan beliau tidak lepas dari membuat karya dan mengadakan pameran2 Kaligrafi di Spanyol, Turki, Dubai, Kuwait dan lain-lain. Selain itu, Ustadzah Nuria Garcia juga aktif mengadakan workshop dan pelatihan seputar kaligrafi seperti di Zaragona (Spanyol), Capetown (Afrika Selatan), dan juga di Washington D.C.
Selain pemateri warkshop kaligrafi dan pameran baik tunggal maupun bersama di berbagai negara, berikut ini daftar lomba (musabaqah) kaligrafi Internasional yang pernah beliau menangkan ikuti:

2016 Juara pertama, Pameran Noor, Sharjah International Calligraphy Biennial, UAE.
2013 Juara kedua pada kategori jaly sulus, IRCICA International Calligraphy Competition. Istanbul, Turkey.
2012 Juara pertama, kategori kaligafi klasik, Lomba Kaligrafi Internasional, Aljazair.
2012 Juara tiga, Kategori sulus, Lomba Kaligrafi Albaraka Türk, Istanbul, Turkey.
2010 Juara empat, Ketegori sülüs, IRCICA International Calligraphy Competition. Istanbul, Turkey.
2010 Juara harapan, kategori sulus, Al Burda Competition, Abu Dhabi, U.A.E.
2008 Juara ke-3 kategori Sulus, pada Musabaqah al-Barakah, diadakan di Istambul Turki.
2008 Juara harapan, kategori Sulus-Naskh, pada Musabaqah al-Burda, diadakan di Abu Dhabi, Emirat.
2007 Juara harapan, kategori Sulus, pada 7th International Calligraphy Competition IRCICA, Turki.
2003 Juara harapan kategori Riq’a, pada 6th International Calligraphy Competition IRCICA, Turki.

source: www.nuriaart.com

Continue Reading