Banyak kisah nyata tentang kegigihan seorang kaligrafer dalam belajar sebelum akhirnya mencapai hasil yang memuaskan. Demikian pula seorang al-Hafidz Usman yang juga telah menunjukkan kegigihannya dalam belajar seni kaligrafi.
Beliau memulai belajar pada usia 14 tahun kepada Darwisy Ali. Karena faktor usia yang sudah udzur, maka sang guru menyarankan supaya al-Hafidz Usman melanjutkan belajarnya kepada Suyolcuzade Mustafa Eyyubi, salah seorang murid Darwisy Ali yang berbakat.
Untuk menuju tempat Suyolcuzade Mustafa Eyyubi, konon al-Hafidz Usman harus menempuh perjalanan sekitar 3 jam dengan berjalan kaki. Semangat tersebut tidak surut bahkan ketika musim dingin datang. Jarak jauh dan cuaca yang tidak bersahabat tidak mampu menahan niat kuatnya untuk datang ke tempat sang guru. Begitu selesai belajar dan pulang, dikisahkan bahwa sang guru, Suyolcuzade Mustafa Eyyubi selalu menengadahkan tangannya untuk mendoakan muridnya tersebut. Meskipun guru dan murid tersebut hidup dalam situasi ekonomi yang terbatas, namun rupanya ikatan batin keduanya sangatlah kuat.
Keikhlasan guru dan murid yang tercermin dari cerita di atas, berbuah manis beberapa tahun kemudian. Diiringin dengan kesabaran dan ketekunan, maka al-Hafidz Usman mampu memahami dengan baik rahasia-rahasia tulisan, sehingga berhasil menulis dengan huruf yang kuat dan susunan yang indah, yang belum pernah ditulis oleh kaligrafer sebelumnya. Karena itu, tidak lama kemudian beliau pun menjadi kaligrafer yang cukup dikenal.
Hingga pada saatnya, orang pertama pada Khilafah Turki Usmani saat itu, yaitu Sultan Ahmad III ingin mendalami seni kaligrafi, dan menginginkan untuk belajar khot kepada al-Hafidz Usman. Sudah menjadi kisah yang turun temurun dituturkan bahwa pintu masuk ke dalam ruangan di mana al-Hafidz Usman mengajar dibuat pendek. Sehingga semua orang yang masuk ke dalam ruangan tersebut harus menunduk, bahkan seorang Sultan sekalipun. Sebuah penghormatan kepada ilmu dan ulama yang mungkin jarang didapatkan saat ini.
Begitu juga dengan adat ketika seorang murid mengoreksikan tulisannya kepada sang guru, maka murid tadi membawakan tempat tinta yang dipakai oleh guru untuk mengoreksi tulisannya. Demikian pula ketika Sultan Ahmad III mengoreksikan tulisannya kepada al-Hafidz Usman, Sultan membawakan tempat tinta tersebut dan dengan penuh ketundukan sebagai seorang murid. Pada kesempatan tersebut, sang Sultan yang sangat kagum dengan gurunya tersebut berkata: “Aku mengira tidak akan ada lagi ‘Hafidz Usman lain’ akan lahir dan bisa menulis seindah ini”. Hafidz Usman pun menjawab: “Jika ada seorang Sultan seperti Anda, yang mau membawakan tempat tinta untuk gurunya, maka saya yakin akan datang banyak al-Hafidz Usman lain setelahku”. Percakapan keduanya bukanlah basa-basi. Namun mengajarkan arti yang dalam, tentang ketulusan dalam belajar, meskipun dia seorang Sultan, dan sifat rendah hati yang dicontohkan oleh seorang guru besar, al-Hafidz Usman. [muhd nur/ hamidionline]