Latihan Bersolek Mempercantik Huruf

Wahai orang yang ingin mempercantik kaligrafi, hendaknya engkau banyak latihan. Moto di atas menggambarkan, betapa untuk mencapai kesempurnaan kaligrafi diperlukan perjuangan yang gigih. Perjuangan tersebut bernama latihan (tadrib). Banyak latihan adalah satu-satunya syarat menuju sukses menulis. Instrumen lain hanyalah syarat-syarat tambahannya. Mengapa demikian?

Karena kaligrafi yang dijuluki Art of Islamic Art, menurut analis kaligrafi Marouf Zoreiq adalah ilmu,seni, dan juga filsafat. Menyatukan kaligrafi ke dalam triple atribut tersebut harus dengan usaha aktif-kreatif karena kaligrafi bukanlah skill biasa, tetapi juga “seni perjuangan” yang diterobos dari segala pintu, yaitu: pintu ilmu dengan metode, teknik atau teorinya, pintu seni dengan pertimbangan artistiknya, dan pintu filsafat dengan pemikiran kreatifnya.

Selain tadrib yang berarti latihan atau gemblengan, dikenal pula istilah masyaq yang berarti coret-coretan. Karena latihan kaligrafi harus dengan banyak membuat coret-coretan. Masyaq berhubungan dengan kata masyaqqah yang berarti kesulitan (difficulty) . Karena “kaligrafi itu sulit” maka, harus ditaklukkan dengan banyak latihan, yang berarti banyak bersulit-sulit, berpayah-payah, banyak merasakan pedihnya kesulitan, sesulit latihan tentara di medan tempur. Atau seperti kawah candradimuka tempat Gatotkaca digembleng jadi manusia “balung wesi urat waja” yang sakti mandraguna bisa terbang segala. Di atas latihan-latihan sulit dan meletihkan itulah tonggak kaligrafi bisa ditegakkan dengan kukuh, seperti kata Imam Ali:

إن قوام الخط فى كثرة المشق
“Sesungguhnya tonggak profesionalnya kaligrafi adalah dengan banyak latihan”

Lantas, berapa banyak waktu yang diperlukan untuk latihan? Berlatih sama dengan menghapal pelajaran. Berarti, frekuensi keduanya sama. Imam Syafi’i mengulang pelajaran sampai 40 kali, bahkan menambahkan waktu belajar dengan sahirollayal atau bangun malam:

بقدرالكد تكتسب المعالى # ومن طلب العلى سهرالليالى
“ Sebanyak kerja keras yang dilakukan, sebatas itu pula kedudukan tinggi diraih # Barangsiapa menginginkan kedudukan tinggi, hendaknya bangun di malam hari”

Imam Al-Jarnuzi dalam kitab Ta’limul Muta’allim, merinci alokasi waktu belajar dalam fasal Metode Menghapal: “Ulangi pelajaran yang kemarin 5 x, hari sebelum kemarin 4 x, hari sebelumnya lagi 3 x, hari sebelumnya lagi 2 x, dan hari sebelumnya 1 x.” Wah, dahsyat! Metode mengulang pelajaran begini seperti cara Nabi SAW menyampaikan wahyu-wahyu yang baru diterimanya. Apabila ada yang minta ayat-ayat baru, Nabi tidak langsung memberikannya sampai orang itu menghapalkan dulu ayat-ayat yang telah diberikan sebelumnya di hadapan beliau. Apabila terbukti hapal, barulah Nabi berikan ayat-ayat yang baru. Subhanallah, ini metode ngajar yang sistematis dengan hasil yang maksimalis.
Seperti itu pula cara latihan kaligrafi: 40 balik, 30 balik, 25 balik.

Naja Al-Mahdawi dari Tunisia beruji coba huruf 16 jam setiap hari. Guru kaligrafi Mesir Fauzi Salim Afifi bahkan mengultimatum: “apabila ingin jadi kaligrafer profesional, maka latihannya harus setiap saat.” Pada saat sedang tidak menulis dengan kalam atau kuas pun, dia harus berpikir seolah-olah sedang latihan menulis dengan menggerak-gerakkan telunjuknya di atas paha atau sajadahnya: “menulis huruf”. Matanya pun harus ikut latihan menulis. Lha, caranya? Dinding rumah, lemari atau pintu kamarnya ditempeli lukisan huruf-huruf yang sedang diperdalamnya. Nah, sambil lewat, matanya diplototkan ke tempelan-tempelan huruf itu. Tapi, yang jelas, maksud dari semua itu adalah “terus-menerusnya berlatih setiap waktu, tanpa henti”. Nabi juga memuji amalan yang ditekuni terus-menerus sebagai amalan paling baik:

خيرالأعمال أدومها
“Amalan paling baik adalah yang dikerjakan kontinyus”

Memang berat, dan berat. Tetapi kita harus terlatih mikul benda berat, biar yang berat lama-lama menjadi terasa enteng atau ringan. Yang lebih penting lagi “jangan istirahat belajar khot”

داوم على الدرس لا تفارقه # العلم بالدرس قام وارتفع

Teruslah belajar, jangan tinggalkan pelajaran. Sebab dengan dipelajari, ilmu akan meningkat dan berkembang. (emnoer/hamidionline.net)

*ditulis oleh al-Ustadz Dr. Didin Sirojuddin AR. Pendiri Lembaga Kaligrafi Alquran (LEMKA) di Jakarta (1985), disusul Pesantren Kaligrafi Alquran Lemka di Sukabumi (1998), dua kendaraan perjuangannya yang diiringi aktivitasnya menulis buku-buku kaligrafi, penjurian lomba kaligrafi di MTQ Nasional dan ASEAN, dan berkeliling membina kaligrafi di pelbagai pelosok Indonesia.