Meniru (Muhaakaat) Dalam Tradisi Belajar Khot

tradisi belajar khot


Meniru merupakan salah satu cara yang ditempuh seseorang yang sedang belajar khot supaya tulisannya menjadi lebih baik, serta lebih mengetahui beberapa rahasia-rahasia dalam detail huruf dan penyusunannya.

Meniru dalam khot secara tujuannya ada dua jenis; meniru untuk menguatkan mata, dan meniru dalam rangka menguatkan tangan. Meniru untuk menguatkan mata yaitu dengan cara seseorang meletakkan buku atau tulisan yang akan ditiru di depannya, kemudian mulai memindahkan huruf dan kalimat ke dalam kertas latihan. Dengan demikian maka peran mata sangat besar dalam proses ini. Karena jika seseorang melihat dengan jeli dan detail, maka tulisan hasil meniru pun akan terlihat persis seperti aslinya.

Sementara jenis kedua adalah meniru untuk menguatkan tangan. Yaitu dengan cara seseorang menjiplak huruf atau kalimat atau karya seseorang dengan bantuan meja kaca atau kertas kalkir. Sehingga seseorang bisa melatih tangannya mengikuti arah dan sudut setiap huruf dengan sedetail mungkin sambil terus belajar rahasia-rahasia yang terdapat pada huruf tersebut.

Meniru dalam belajar khot dengan demikian memiliki fungsi dan manfaat yang sangat besar. Hanya disayangkan akhir-akhir ini meniru dalam khot menjadi lebih bebas bahkan hampir tanpa batasan-batasan yang wajar. Karena itu, di bawah ini setidaknya ada 3 hal penting yang akan kami sampaikan berkenaan dengan meniru:

  1. Tidak semua tulisan atau karya bisa ditiru. Hanya tulisan dan karya-karya yang sudah diakui kredibilitasnya secara kaidah khot dan kebenaran susunannya saja yang layak untuk ditiru. Selain itu, setiap tingkatan pembelajar memiliki tulisan atau karya yang layak untuk ditiru pada tingkatan tersebut. Seseorang yang baru belajar misalnya, yang masih sulit memegang pena dan menentukan sudut, tidak seharusnya meniru tulisan dengan susunan yang rumit. Karena meskipun meniru, dalam khot tetap dibutuhkan ilmu dan pemahaman, dan tidak sekedar meniru.
  2. Meniru merupakan alat dan sarana, bukan tujuan. Banyak orang yang lama menghabiskan waktu belajarnya untuk terus meniru tulisan, karya, serta buku-buku yang ada. Aktifitas meniru yang berlebih tadi, justru akan membelenggu kreatifitasnya. Orang yang bersangkutan akhirnya tidak bisa berkarya kecuali jika dia meniru karya orang lain, yang berarti dia masih meniru dan belum menulis dengan tulisan dia sendiri. Inilah sebenarnya salah satu sisi negatif meniru, terutama meniru dengan cara menjiplak karya. Dan jika ditimbang-timbang kembali, maka meniru untuk menguatkan mata seperti yang kami sampaikan di atas, jauh lebih bermanfaat dan mendorong seseorang untuk berkembang tulisannya, daripada meniru untuk menguatkan tangan.
  3. Meniru adalah berusaha mendatangkan sesuatu yang mirip, atau lebih bagus, atau mungkin yang berbeda sama sekali. Karena itu, meniru tidak cukup hanya dijadikan bahan untuk menghabiskan waktu untuk menulis sebanyak-banyaknya tanpa tujuan. Karena selain menguatkan tangan dan huruf, meniru juga merupakan bentuk cara seseorang ikut menjaga keindahan tulisan para kaligrafer-kaligrafer besar masa lalu.

*Dari tulisan Khattath Zaki Al-Hasyimi (kaligrafer Yaman, tinggal di Istanbul). Dialihbahasakan oleh muhammad nur. [muhd nur/ hamidionline.net]

Berikut contoh taqlid yang dilakukan oleh para kaligrafer besar atas karya kaligrafer lainnya. Terlihat bahwa meniru tidak lantas sama persis, tetapi juga bisa mengubah susunan menjadi lebih bagus dan tentunya dengan kreatifitas.

Continue Reading

Sifat Seorang Kaligrafer; Anda Di Mana?

sifat-kaligrafer

Seorang kaligrafer pada umumnya mempunyai sifat sensitif dan kepekaan yang tinggi, sopan, serta kuat dan sabar. Di samping itu, kaligrafer dikenal dengan sifat tenang, tidak mudah gugup, serta menghindari pekerjaan yang sia-sia. Seorang kaligrafer adalah dia yang mengerjakan sesuatu dengan sepenuh hati dan menyelesaikannya dengan maksimal. Dalam dirinya tumbuh rasa kepekaan yang tinggi terhadap keindahan di sekelilingnya.

Seorang kaligrafer tidak tenang jika melihat sebuah huruf yang tertulis bengkok atau tidak sesuai dengan kaidahnya. Dia akan puas mencerap keindahan huruf dengan berbagai macam bentuknya yang mempesona, tulisan yang indah. Karena itu, beberapa orang berhenti dari menulis jika merasakan jiwanya kurang stabil, hingga kembali siap berinteraksi dengan huruf dalam ketenangan jiwa.

Seorang kaligrafer dengan apa yang disukainya, akan tercermin dalam kepribadian serta penampilannya. Huruf-huruf dalam seni khot, bagi seorang kaligrafer lebih indah daripada lukisan, musik, dan seni lain yang tercerap lewat indera. Dahulu kala ada yang berkata, bahwa jika seni adalah dunia; maka musik adalah lisannya, lukisan adalah badannya, serta lagu adalah nuraninya. Sementara khot, mencakup semua itu; ia adalah lisan, badan dan nuraninya.

Beberapa orang yang berhasil menyelami seni kaligrafi hingga mencapai puncak penghayatan dan keindahan tulisan merasakan cemburu terhadap huruf-huruf tersebut, sehingga terkesan ‘bakhil’ dan pelit, tidak mau mengajarkan seni ini.

Diriwayatkan bahwa kaligrafer ad-Dhahhak bin ‘Ajlan, jika ingin meraut penanya, dia menyingkir dari orang-orang, supaya tidak dilihat oleh mereka. Ad-Dhahhak berkata: kaligrafi sepenuhnya ada pada pena!! (al-Qalqasyandi, Subhul A’sya fi sina’ati al-Insya, juz 3, hlm 456)

Seperti itu pula yang diriwayatkan tentang kaligrafer al-Anshari ketika dia meraut penanya. Dan jika beranjak meninggalkan kantor tempat dia menulis, tidak lupa dia potong ujung mata penanya supaya tidak dilihat orang. Sebagaimana yang dia tiru dari gurunya, al-Ahwal al-Muharrar, di mana beliau terkenal dengan rautan penanya yang enak dipakai untuk menulis. Hal ini pula yang dilakukan oleh Ibn al-Bawwab, beliau tidak membolehkan seorang kaligrafer dengan mudah-mudah menunjukkan rahasia memotong pena. Dalam bait qasidah-nya beliau menyebutkan

فاصرف لرأي القط عزمك كله #  فالقط فيه جملة التـــــدبــــيــر
لا تطمعن في أن أبوح بســـره   #  إني أضن بسره المـــــستـــور

Meskipun terlihat ‘pelit’, bait tadi tidak pernah mendapat kritikan, karena dalam dunia kaligrafi, hal ini telah menjadi sesuatu yang umum diketahui.

Dalam buku “al-Isyraq”, az-Zubaidi mengatakan bahwa di antara kaligrafer awal masa turki Usmani adalah Abdullah Afandi al-Quraimi at-Turki. Beliau menulis dengan bentuk huruf Syaikh Hamdullah al-Amasi, dengan cara meniru dan ‘mencuri’ dari Syaikh Hamdullah. Abdullah Afandi mengaku pernah minta belajar kepada Syaikh Hamdullah namun beliau tidak mau mengajarinya. Hingga kemudian sifat ‘bakhil’ syekh Hamdullah ini membuat Abdullah Afandi bersungguh-sungguh hingga mampu menguasai khot dengan baik bahkan beberapa kali menulis mushaf.

Fauzi Salim Afifi, dalam bukunya Dirasat fi al-Khat al-‘Arabiy menyebutkan bahwa beberapa kaligrafer besar mendapatkan gelar sebagai penghargaan atas sumbangsih dan ketokohannya dalam dunia kaligrafi. Ibnu Muqlah misalnya, dikenal dengan gelar Wazir al-Khatt (menterinya khat) bahkan ada yang menyebutnya Nabiyyul Khat (nabinya khat), sedangkan Yaqut al-Musta’shimi lebih dikenal sebagai Qiblatu al-Kuttab ( kiblatnya para kaligrafer). Demikian pula Syaikh Hamdullah al-Amasi, dikenal dengan Syaikh (Syaikh para kaligrafer), sedangkan Darwisy Ali dikenal dengan as-Syaikh as-Tsani (syaikh kedua), dan al-Hafidz Usman dikenal dengan as-Syaikh as-Tsalits (syaikh ketiga).

Kaligrafer besar Ahmed Karahisari disebut dengan Quthbul Khat (kutub/muara khat), sedangkan  ‘Abdullah az-Zuhdi lebih dikenal dengan Khattath al-Haramain (kaligrafer dua tanah suci), sedangkan Syaikh Muhammad Aziz ar-Rifa’i dikenal dengan Amir al-Khat (pangeran kaligrafi) abad dua puluh. Sebagaimana al-Hajj Ahmad Kamil dikenal dengan Rais al-Khattathin (kepala para kaligrafer), dan juga Sayyid Ibrahim dikenal dengan sebutan ‘Amid al-Khat al-Arabi (penghulu seni kaligrafi). [muhd nur/hamidionline]

Diterjemahkan dari buku Ahmad Shabri Zaid, Tarikh Khat Arabiy, Darul Fadhilah, (Kairo: 1998) hal. 40

Continue Reading

Mengenal Istilah Kaligrafi; Kurrasah atau Amsyaq?

amsyaq hamidionline

Teman teman kalau belajar kaligrafi dengan Manhaj Hamidi, tentunya tidak terlepas dari seorang guru dan buku. Karena memang keduanya merupakan komponen dasar sebagai motor penggerak. Buku bagaikan peta, sedangkan guru adalah pemandunya, dengan peta dan pemandu, niscaya tidak akan tersesat. Artinya dengan guru dan buku, diharapkan belajar kaligrafi dapat ditempuh dan terselesaiakan dengan sukses.

Ok, kembali ke tema awal, biasanya buku tersebut biasa dikenal dengan istilah kurrasah. Bener kan? Kira-kira ada yang pernah berfikir nggak? Sebenarnya kurrasah itu apa sih?

Baiklah, disini saya akan sedikit berbagi, apa yang saya tahu, dan apa yang saya pelajari dari Ust. Muhammad Nur kemaren pada saat Musabaqah Khat Riq’ah di IQMA UIN Surabaya. Hitung-hitung jadi oleh-oleh buat teman teman dimanapun berada… hehehe…

Baiklah, sebelum masuk pada pembahasan lebih dalam, coba kita inget-inget lagi, kira kira kurrasah milik siapa saja yang digunakan dalam mempelajari khat dengan manhaj hamidi? Hayoo…. inget inget dulu.

Kalau temen-temen yang masih pada pelajaran Riq’ah, tentunya sudah tidak asing lagi dengan sebutan kurrasah Ustadz Yusuf Dzannun, iya kan?? Kalau ditanya, sampai mana pelajarannya? Masih di Riq’ah Dzannun. Itu sama artinya bahwa khat yang dipelajari masih menggunakan Kurrasah milik Ustadz Yusuf Dzannun, sama halnya ketika sudah pada Riq’ah Izzat, berarti kurasah milik Muhammad Izzat-lah yang digunakan sebagai pedoman. Dimana kedua kurrasah ini menjadi dasar pegangan pada jenis khat Riq’ah pada pembelajaran kaligrafi bermanhaj Hamidi.

Sama halnya ketika pada pelajaran diwani, kedua kurrasah ini masih sebagai pegangan, namun yang sedikit berbeda adalah jilidnya, dimana kurrasah diwani Izzat, ada dua jilid dari kurrasah izzat yang harus ditempuh agar selesai pada proses pembelajaran. Hingga jika digabungkan ada 3 kurrasah yang harus terselesaikan misinya. Mantab jiwa… hehehe

Kemudian, pada khat jaly diwani, kurrasah milik Ustadz Mushtafa Halim yang digunakan sebagai panduan. Adapun pada jenis nasta’liq ada 3 kurrasah, yaitu: kurrasah milik Hulushi Afandi, Sami afandi dan Yasari Zadah Musthafa Izzat. Kalau keterangan dari Ust. Feri Budiantoro bahwa kurrasah milik Hulushi Afandi adalah sebagai dasar, sedangkan dua lainnya untuk jaly (dengan ukuran mata pena yang lebih besar) dan sebagai pendalaman. Pada jenis Naskhi dan Sulust kurrasah yang menjadi acuan adalah milik Muhammad Syauqi.

Sementara itu dulu ya, sekarang kita masuk pada inti pembahasan. Sepertinya sudah pada penasaran nih sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan kurrasah? Iya kan iya kan… hehehe.

Oke deh, bersama ust. Muhammad Nur kemaren sempat sedikit membahas tentang makna istilah kurrasah. Dengan salah satu kitab yang berjudul Al-Lauhat al-Khattiyah fi Fan al-Khat al-Islamy karangan Kaligrafer Aljazair, murid Hamid Aytac, Muhammad Said Syarify. Buku terbitan Dar Ibn Katsir dan Dar al-Qadiry- Beirut ini ini dibawa oleh mas Mujib sebagai buah tangan dari Aljazair kemaren, hehehe yee.. Alhamdulillah.

Di dalam kitab itu disebutkan bahwa istilah kurrasah memiliki kesamaan arti dengan istilah masyq, bentuk jama’nya adalah amsyaq. Sedangkan pengertian masyq sendiri merupakan tulisan yang khusus ditulis oleh guru yang dimaksudkan sebagai buku panduan bagi para muridnya.

Maka jika kita perhatikan lebih dalam, kita akan menemukan istilah amsyaq Muhammad Syauqi yang tertera pada kurrasah suluts dan naskh, amsyaq muhammad izzat fi al-qir’ah, diwani dst. Lebih jelasnya akan diberikan salah satu contoh pada gambar yang tertera dibawah ini. Hal ini menunjukkan bahwa goresan-goresan yang ditulis oleh guru tersebut memang digunakan sebagai buku panduan bagi murid-muridnya. Agar keilmuan nya dapat tersampaikan dengan baik, tentunya dibutuhkan seorang guru sebagai penyambung tali keilmuanya.

Maka, sungguh amatlah bersyukur, kita disini diberikan kesempatan untuk belajar khat dengan Manhaj Hamidi sebagai salah satu disiplin keilmuan kaligrafi berbasis sanad. Sangat disayangkan sekali jika kesempatan ini hanya terlewatkan begitu saja. Oleh sebab itu, yuk kita sama sama semangat belajar kaligrafi dengan baik dan benar. Mudah-mudahan ada manfaatnya, aamiin. Sekian dari saya. Selamat berjuang kawan.

Salam ta’dzim.
Ahmad Yasir Amrullah.

Continue Reading

Jenis Karya Kaligrafi 2 (Muraqqa’ah)

Jenis karya kaligrafi muraqqa’ah adalah satu jenis lain dari karya kaligrafi yang dikenal pada era Usmani. Singkatnya muraqqa’ah adalah kumpulan dari qith’ah yang disusun menjadi satu. Dengan demikian muraqqa’ah pun bermacam-macam, tergantung pada jenis kaligrafi yang dipakai dalam qith’ah yang menyusunnya. Seperti misalnya muraqqa’ah suluts-naskhi, muraqqa’ah muhaqqaq-rayhani dan lain-lainnya.

Muraqqa’ah mempunyai keunikan dengan bersambungnya naskah yang tertulis dari satu qith’ah ke qith’ah selanjutnya. Selain naskah dan makna yang sambung menyambung, muraqqa’ah juga tersusun dari bentuk qith’ah yang identik dari segi jumlah barisnya, lebar dan panjang, serta jarak antar baris pada setiap qith’ah, yang menambah keunikan dan keindahan muraqqa’ah. Karena keunikan ini, maka muraqqa’ah membentuk susunan qith’ah berseri yang naskah dan maknanya saling bersambung dengan jenis kaligrafi yang konsisten dalam bentuk huruf dan ukuran setiap barisnya.

Jenis Karya Kaligrafi 2 (muraqqa'ah)
Contoh Cover Muraqqa’ah

Karena tuntutan ini pula, muraqqa’ah lebih banyak ditulis oleh satu orang kaligrafer yang dikenal dengan istilah muraqqa’ah muraqqamah. Namun demikian, ada juga muraqqa’ah yang merupakan kumpulan dari qith’ah yang ditulis oleh beberapa orang kaligrafer. Jenis ini oleh para kaligrafer dinamakan dengan istilah muraqqa’ah majmu’ah. [muhd nur/ hamidionline]

*Disarikan dari buku al-Madrasah al-‘Utsmaniyyah lifannil Khattahil ‘Arabi, Dr. Idham Muhammad Hanas, Maktabah Imam Bukhari, Kairo, 2012, h. 178

Di bawah ini merupakan contoh muraqqa’ah oleh beberapa kaligrafer. Di antaranya adalah Hafidz Osman yang menulis kasidah “Banat Su’ad”, dan juga Syaikh Aziz Rifa’i, dan juga seorang kaligrafer Muhammad Washfi yang menulis kasidah “at-Thantharani”

Muraqqa’ah Hafidz Osman

Muraqqa’ah Syaikh Aziz Rifa’i

Continue Reading

Jenis Karya Kaligrafi 1 (Qith’ah)


Karya kaligrafi bisa disebut sebagai buah dari belajar dan latihan keras seorang kaligrafer. Karya kaligrafi identik  dengan sebuah tulisan yang sudah final dan dikerjakan dengan maksimal dalam waktu yang lama, sehingga menjadi sangat  berharga bagi kaligrafer bersangkutan. Bisa jadi merupakan hasil buah pikiran dalam menyusun huruf yang memakan waktu berbulan-bulan yang akhirnya ‘dianggap’ final.

Karya kaligrafi memang merupakan hasil yang dinikmati dan dengannya seorang kaligrafer diukur kemampuannya. Namun demikian, hendaknya seseorang tidak hanya melihat hasil saja, namun juga proses latihan dan waktu, serta faktor-faktor lainnya.

Dalam istilah kaligrafi, terdapat beberapa jenis karya. Pada era Usmani misalnya, terdapat berbagai macam penyebutan sebuah karya. Di antaranya adalah karya kaligrafi yang disebut dengan Qith’ah.

Apa itu Qith’ah?

Qith’ah merupakan salah satu karya kaligrafi yang yang umumnya berbentuk persegi panjang, dengan tulisan memanjang atau bisa juga meninggi. Qith’ah mengandung baris primer dan beberapa baris sekunder yang berurutan dari atas ke bawah.

Tulisan yang ada dalam Qith’ah biasanya terdiri dari dua jenis khot. Baris Primer (paling atas) berisi naskah yang ditulis dengan khot tertentu (biasanya khot tsuluts atau muhaqqad) kemudian berikutnya baris kedua (sekunder) biasanya terdiri dari beberapa baris (antara dua sampai tiga, atau delapan sampai sepuluh), berisi naskah yang ditulis dengan jenis khot lainnya (biasanya naskhi).

Setelah baris sekunder yang terdiri dari beberapa baris ini, terdapat baris baru lagi, yang biasanya naskah yang terdapat di baris ini, ditulis dengan jenis khot yang sama dengan baris pertama. Pada sisi kiri dan kanan naskah pada baris sekunder (yang berbeda jenis khot serta mata pena tadi) biasanya terdapat ruang kosong yang diisi dengan zahrafah atau hiasan.

Karya kaligrafi dalam bentuk Qith’ah ini telah lama dikenal dan dipakai oleh para kaligrafer era Usmani. Setidaknya terdapat tiga jenis pasangan jenis khot yang dipakai pada Qith’ah saat itu. Yaitu suluts-nakshi, muhaqqaq-rayhan, dan tauqi’-riqa’.

Namun demikian, Qith’ah juga bisa ditulis dengan jenis khot lain semisal ta’liq atau nasta’liq. Meskipun, dalam penerapannya dalam nasta’liq sedikit berbeda. Karena naskah tulisan biasanya berbentuk bait syi’ir dalam empat atau enam baris.

Dari sisi sejarah, karya kaligrafi bentuk Qith’ah ini juga telah dikenal oleh para kaligrafer era Abbasiyah di Baghdad; di mana saat itu para kaligrafer juga telah banyak menulisnya. Hanya saja, penyebutannya berbeda, bukan Qith’ah melaina Ruq’ah. Dan hingga saat ini, bentuk Qit’ah ini masih umum dipakai oleh para kaligrafer dalam mengekspresikan seni handasah ruhaniyahnya. [muhd nur/ hamidionline]

*Disarikan dari buku al-Madrasah al-‘Utsmaniyyah lifannil Khattahil ‘Arabi, Dr. Idham Muhammad Hanas, Maktabah Imam Bukhari, Kairo, 2012, h. 176

Beberapa contoh qith’ah karya para kaligrafer besar dunia. Di antaranya adalah Syekh Hamdullah al-Amasi, Hafidz Usman, Kadiaskar Musthafa Izzat, Muhammad Syauqi, al-Hajj Ahmad Kamil, dan Musthafa Halim.

Sumber foto karya Syekh Hamdullah al-Amasi: www.ward2u.com dan www.mobda3.net

Continue Reading

Mengenal kaligrafi Arab (1)

jenis kaligrafi arab (1)

Kaligrafi Arab yang berkembang sejak turunnya Islam sangat beragam. Pada awalnya, jenis kaligrafi biasa disebut dengan tempat dimana khot tersebut berkembang, seperti khot makky, khot madany, khot kufi dan lain-lain.

Seiring dengan perkembangan zaman dan peradaban, terdapat jenis kaligrafi Arab yang eksis dan tetap bertahan bahkan dilestarikan hingga sekarang. Setidaknya terdapat enam jenis kaligrafi Arab yang biasa disebut dengan khututh asasiyyah (jenis kaligrafi primer). Di antaranya adalah riq’ah, diwani, jaly diwani, nasta’liq, naskhi dan suluts. Penyebutan ini tidaklah berdasarkan hierarki zaman munculnya jenis kaligrafi arab tersebut, akan tetapi mengacu pada tingkat kesulitan dan kerumitan, serta dimulai dari yang paling sederhana yaitu riq’ah, hingga jenis paling sulit dan rumit serta paling indah, yaitu khot suluts.

Tulisan singkat ini hanya ingin memberikan gambaran umum tentang jenis kaligrafi tersebut, yang kami rangkum dari berbagai sumber baik dari buku, internet, maupun dari para asatidz kaligrafer khot yang dari beliau kami mengambil dan belajar kaligrafi ini.

Khot Riq’ah

Jenis kaligrafi Arab ini memiliki bentuk paling sederhana dibanding jenis lainnya. Riq’ah juga merupakan jenis paling banyak dipakai dalam menulis sehari-hari dalam transaksi di masyarakat. Keindahannya terletak pada konsistensi bentuk dan ketajaman bagian hurufnya yang dibalut kelenturan pada ujung dan sambungan antar huruf. Selain itu, jenis ini pada umumnya mudah dibaca. Kecuali pada penggalan yang sengaja ditulis untuk memunculkan sisi keindahan. Pada kasus ini, beberapa huruf yang tidak lazim disambung, tetapi disambung sehingga terkesan sulit dibaca, namun menambah keindahan dan kekuatan susunannya.

Selain bentuk kaku dibalut kelenturan, jenis khot ini juga dipakai hanya untuk menulis lurus satu garis (mursal) dan tidak biasa dibuat saling masuk (mudammaj) atau bertumpuk  (murakkab). Karena itu, tidak nyaris tidak ada bagian yang sulit dibaca karena susunan huruf yang berlilitan atau ‘mbulet’ (mu’aqqad).

Ciri-ciri khot Riq’ah

Ciri dari riq’ah di antaranya adalah bentuknya yang khas, huruf-hurufnya cenderung lurus dalam kemiringan konstan (busholah), serta tidak banyak lengkungan. tidak menerima huruf yang dipanjangkan (kasyidah). Karena itu, kekuatan huruf dan susunannya terletak pada kepiawaian kaligrafer dalam menyusun huruf-huruf yang relatif mempunyai anatomi pendek dan rendah. Hampir semua huruf khot riq’ah ditulis di atas garis kecuali empat huruf saja (jim, mim, ‘ain dan ha’ di tengah). Ciri lain yang sangat vital adalah, jenis khot ini tidak diberi harakat (tasykil).

Munculnya khot Riq’ah dan Kegunaannya.

Para pakar sejarah seni Islam sepakat bahwa riq’ah pertama kali muncul pada era Turki Usmani, melalui tangan para kaligrafer besarnya. Kemunculan riq’ah tidak bisa dipisahkan dari kondisi seni kaligrafi yang sedang berkembang di Turki saat itu. Kaligrafi menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan ekonomi, sosial, serta politik dan keagamaan yang ada. Seorang kaligrafer mempunyai posisi yang kuat dan memiliki peran ketokohan. Ustadz Belaid Hamidi menyampaikan bahwa munculnya khot riq’ah juga disebabkan faktor kuatnya para kaligrafer pada saat itu dalam menghargai dan memposisikan jenis khot naskhi yang telah dulu dikenal.

Naskhi, sebagaimana diketahui banyak dipakai dalam menyalin al-Qur’an dan kitab hadis. Penggunaan khot naskhi yang sedemikian ‘terhormat’, menjadikan para kaligrafer saat itu berpikir untuk mengistimewakan khot ini dengan tidak memakainya dalam menulis selain al-Qur’an dan transaksi sehari-hari. Karena bagi mereka, jika al-Qur’an adalah kalamullah yang berbeda dengan dengan perkataan manusia, maka tulisan yang dipakai untuk menulis pun harus berbeda.

Sedemikian ta’dzimnya pada kaligrafer saat itu kepada huruf al-Qur’an, sehingga tidak heran jika kemudian keberkahan dan pintu-pintu ilmu (termasuk kaligrafi) terbuka lebar. Sehingga pada gilirannya Turki dan era Turki Usmani khususnya menjadi kiblat dan acuan bagi siapa saja yang ingin belajar kaligrafi dengan sungguh-sungguh.

Siapa yang perlu kita contoh dalam khot Riq’ah?

Jika telah maklum bahwa jenis khot ini tumbuh dan berkembang pada era Turki Usmani, maka riq’ah berarti mempunyai akar kaslian yang kuat di sana. Tumbuhnya riq’ah termasuk ‘belakangan’, jika dibanding dengan jenis khot lainnya. Adalah kaligrafer Mumtaz Bik, yang dicatat sebagai peletak kaidah dasar Riq’ah. Beliau hidup semasa Sultan Abdul Majid Khan, sekitar tahun 1280 H. Riq’ah mencapai kematangan bentuk dan susunannya di tangan kaligrafer besar Muhammad Izzat.

Kaidah Riq’ah yang terdapat dalam kumpulan “Atsar Muhammad Izzat” menjadi panduan kaligrafer seluruh dunia. Jika melihat sejarah, hal ini tentu tidak berlebihan, karena di Turki lah khot ini muncul, dan berkembang, maka wajar jika Muhammad Izzat, kaligrafer Turki menjadi kiblatnya. Meskipiun demikina, hal ini tidak menafikan adanya kaligrafer dan negara lain seperti Irak, Syiria, Jordan, Mesir dan lain-lain yang juga mencoba mengembangkan dan memodifikasi jenis Riq’ah ini. Namun sekali lagi, jika kita ingin melihat riq’ah yang asli, maka seyogyanya kembali kepada kaidah Riq’ah Muhammad Izzat.

Dalam metode belajar kaligrafi Manhaj Hamidi, buku utama dalam pembelajaran khot Riq’ah adalah buku Muhammad Izzat. Meskipun buku utama, namun buku “Izzat” ini tidak serta merta dipelajari pada awal belajar. Karena buku utama ini memuat kaidah dengan detail yang ‘super’, maka diperlukan ‘buku pengantar’ yang menerangkan dasar-dasar penting sebelum masuk ke detail. Di sini lah kurrasah Riq’ah al-Ustadz Yusuf Dzannun mengambil peran pentingnya. Untuk ulasan tentang kurrasah Riq’ah al-Ustadz Yusuf Dzannun ini, Insyaa Allah akan kami muat pada tulisan selanjutnya. [muhd nur/ hamidionline]

Continue Reading

Kebaikanmu yang Mengalir

kebaikan mengalir


Ilmu adalah salah satu faktor ikatan yang kuat di antara para pencari ilmu. Karena ilmu berdiri di atas dasar kaidah-kaidah, rahasia-rahasia, serta cahaya Ilahi. Karena itu pula, ikatan ilmu merupakan penyebab ikatan kemanusiaan terkuat yang pernah ada, dalam sejarah peradaban bangsa-bangsa.

Demikian pula hubungan yang terjadi antara guru dan murid, tidak pernah lepas dari etika dan saling menghormati. Hubungan antara keduanya berdasarkan transaksi memberi dan menerima, bukan transaksi jual jasa dan membeli. Dasar inilah yang menjadikan para ulama berlomba membedah dan meletakkan hukum serta kaidah pokok di dalamnya. Sehingga muncul buku-buku yang membahas kaidah hubungan tersebut lalu menjadikannya sebuah ‘adab’. Yang pada gilirannya, adab tersebut menjadi syarat yang harus dimiliki oleh setiap guru dan murid, sebelum keduanya terlibat dalam transaksi ‘memberi dan menerima’ tadi.

Karena itulah, muncul banyak pendapat yang mendahulukan pentingnya tarbiyah (pendidikan) daripada ta’lim (pengajaran). Di mana mayoritas domain tarbiyah berisi hukum-hukum yang membahas tentang akhlak serta sifat-sifat terpuji yang harus dimiliki seorang guru dan murid. Secara garis besar, seorang guru memberikan ilmunya supaya mendapatkan berkah dari ilmu bermanfaat. Sementara seorang murid, hendaknya hormat guru, tamak ilmu, lalu berusaha untuk menjaga serta melesatarikannya dengan penuh amanah.

Satu masalah penting dalam menyangkut adab, yang kerap kurang mendapat perhatian, bahkan sering salah dalam mengamalkan, yaitu masalah memberi. Barangsiapa yang dikaruniai ilmu di antara menusia, maka bisa dipastikan bahwa dia dianugerahi otoritas dalam ilmu tersebut. Sehingga karena ilmu yang melekat padanya, lingkungan mengormatinya.

Maka hendaknya orang tersebut tidak menghilangkan kehormatan dan kepercayaan yang telah diberikan oleh lingkungannya, dengan memelihara tamak dalam hatinya dalam rangka mempertahankan otoritas tadi.

Ketika masa mengajar, bisanya seorang guru memberi ilmu kepada muridnya dengan penuh kemurahan hati, bahkan memberikan semua yang dia punya dengan penuh kemudahan. Sehingga si murid menjadi paham dan semakin kuat dalam memegang amanah ilmu tadi. Namun ketika murid yang bersangkutan telah mencapai fase kematangan, datang gangguan dalam hati guru tersebut.

Gangguan tersebut samar, dari hati, berusaha menggugat apa yang telah dia berikan kepada si murid dengan mengingat dan menghitung-hitung betapa banyak dia telah dia korbankan dan dia keluarkan. Samar, dan nyaris tanpa disadari, inilah penyakit zaman modern yang menjadi ciri kemunduran berfikir.

“pergilah kepada fulan, untuk menyempurnakan ilmumu kepadanya, karena ilmuku telah habis, dan telah kuberikan semuanya kepadamu.”

Sejarah telah memberi pelajaran kepada kita sebuah cerita menarik. Dalam sebuah majelis ilmu, jika seorang guru merasa bahwa muridnya telah menyelesaikan belajar kepadanya, maka ia akan mengarahkan muridnya kepada guru lain, lalu memberi support dan mendoakannya.

Muhammad Syauqi adalah contoh yang nyata. Ketika beliau menyelesaikan belajarnya kepada sang paman; Hulushi, maka pamannya berkata: “Aku telah memberimu semua yang aku punya, karena itu aku sarankan supaya kamu melanjutnya belajarmu kepada Musthafa Izzat Kadiaskar, karena beliau lebih tau daripada aku.”

Inilah akhlak para ulama yang menghiasi kehidupan mereka sehingga menorehkan tinta emas. Karena apa yang dilakukan adalah semata-mata membentuk sebuah peradaban keilmuan, yang berdiri atas dasar mendahulukan maslahat umum demi umat, dan meninggalkan kepentingan dunia sesaat juga keinginan pribadi mengejar duniawi.

Problem nyata dalam pengajaran saat ini adalah munculnya diktatorianisme dalam ilmu yang ditimbulkan oleh miskinnya ilmu. Tidak sedikit hubungan guru dan murid yang bermula harmonis, harus berakhir dengan dengki dan permusuhan. Sangat mustahil seseorang itu iklas memberi, jika tujuannya hanya untuk kepentingan diri dan maslahat pribadi. Karena itu, seorang guru yang tidak mau diungguli oleh muridnya, tidaklah pantas untuk menjadi guru dan teladan.

Muridmu wahai guru, adalah kebaikanmu yang mengalir, dan buah dari ilmumu yang abadi. Karena itu ikhlaslah dalam mendidik dan mengajar, jangan pamrih dan menanti ganti…

Saudaramu, Zaki al Hasyimi
25/02/2017

*dialihbasakan oleh Muhammad Nur, dengan beberapa penyesuaian. [muhd nur/ hamidionline.net]

Continue Reading