Riwayat Sejarah Peletakan Huruf

Dalam “Shubhu al-A’sya fi Shina’at al-Insya”, al-Qalqasyandi (W. 821 H) menyebutkan bahwa Adam As. merupakan orang yang pertama kali meletakkan bentuk bentuk huruf dan tulisan, 300 tahun sebelum meninggalnya. Beliau menulisnya pada tanah liat lalu membakarnya. Setelah perisitiwa tenggelamnya bumi oleh banjir bandang, masing-masing kaum (yang selamat) menemukan peninggalan tersebut lalu menjadi tulisan mereka. Masih dalam buku yang sama, disebutkan bahwa yang pertama meletakkan huruf adalah Akhnukh atau lebih dikenal dengan Idris As.

Sementara dalam “Kitab al-Fihrist”, Ibnu Nadim (W. 384 H) menyebutkan bahwa peletak huruf adalah para putera Ismail As. Mereka adalah Nafis, Nasr, Taima, dan Ruma. Ada juga yang meyakini mereka adalah peletak huruf Arab. Akan tetapi sejarawan lain berpendapat bahwa putera Ismail As. bukanlah peletak huruf Arab, namun mereka peletak huruf secara umum. Sementara huruf Arab diletakkan oleh 7 orang dari kota Thasm. Konon mereka bermukim di tempat Adnan bin Udad. Mereka masing-masing bernama Abjad, Hawwaz, Hutthy, Kalamun, Sa’fash, dan Qarasyat. Mereka lantas meletakkan huruf-huruf Arab berdasarkan nama mereka. Dan ketika mereka menemukan beberapa lafadz tidak terdapat pada nama mereka, maka ditambahkan lah huruf-huruf tersebut dan dinamakan rawadif. Huruf itu terkumpul dalam lafads Tsakhadzun, Dladzagha.

Pendapat lain terdapat pada kitab “Wafayat al-A’yan wa anba` abna` az-Zaman”, bahwa Ibnu Khallikan (W. 681 H) mengatakan bahwa peletak huruf Arab menurut pendapat yang benar adalah Muramir bin Murrah, dari daerah al-Anbar. Dari al-Anbar inilah lalu tulisan menyebar kepada yang lain. Al-Ashmu’i berkata bahwa para sejarahwan meriwayatkan bahwa ketika suatu saat suku Quraisy ditanya dari mana belajar menulis, mereka mengatakan dari al-Anbar.

Hisyam bin Muhammad as-Saib mengatakan bahwa Basyar bin Abdul Malik belajar menulis dari orang al-Anbar, lalu dia pergi ke Makkah, menikah dengan Syahbaa’ binti Harb bin Umayyah. Dari menantunya, Harb belajar menulis, lalu belajar dari Harb puteranya, Sufyan. Dari Sufyan inilah, Sayyidina Mu’awiyah belajar menulis, lalu mulai menyebar di kalangan suku Quraisy. Tulisan yang dipelajari saat itu adalah jenis khot kufi, yang pada saatnya nanti berkembang menjadi al-aqlam as-sittah.

Khot kufi sendiri merupakan sebutan bagi khot hijazi setelah pindah dari Hijaz ke Kufah pasca pembangunannya pada tahun 16 H. Karena khot hijazi tersebut dikembangkan dengan lebih bagus dan indah di Kufah, maka kemudian disebut dengan khot kufi (dinisbahkan pada kota Kufah). Lalu kemudian istilah khot kufi menjadi umum dipakai untuk menyebut semua jenis khot lama (pra-Islam), meskipun pada dasarnya khot kufi sendiri belum muncul sebelum Islam.

Pendapat lain tentang asal huruf dan tulisan bisa dilacak pada kitab “at-Ta’rif wa al-I’lam fi ma Abhama min al-Qur’an min al-Asma’ al-A’lam”, ditulis oleh al-Hafidz Abu al-Qasim as-Suhaili (W. 581 H), juga dalam kitab “al-Muzhir” karya Imam Jalaluddin Abu Bakr as-Suyuthi (W. 911 H) serta pada kitab “al-Awail”, karya Abu Hilal al-Askari (W. 395 H). Riwayat dari sumber tadi juga disinggung dalam kitab “Taj al-Arus li Syarh Jawahir al-Qamus” karya Imam Zabidi. (muhd nur/hamidionline)

Sumber: Muhammad Murtadha az-Zabidi, Hikmah al-Isyraq ila Kuttab al-Afaq, (Kairo: Maktabah al-Madani, tt) p.27-29.

Continue Reading

Bagaimana kaligrafer terdahulu mengajarkan ilmunya?

hamidionline.net

Tahukan anda, bahwa karya karya para kaligrafer terdahulu seperti karya milik Syaikh Hamdullah, Sami Afandi, Muhammad Syauqi, Hafidz Osman dll menjadi masterpiece yang mampu menembus lintas zaman dan masih tetap menjadi rujukan bagi para kaligrafer sekarang. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana cara mereka mencapai hal itu?

Dalam kesempatan ini, penulis akan sedikit mengupas beberapa rahasia pengajaran kaligrafi zaman terdahulu, agar hasil karya yg dihasilkan bjsa menjadi masterpeace lintas generasi. Diantara point penting yang dilakukan oleh kaligrafer terdahulu dalam sebuah pengajaran kaligrafi agar anak didiknya sukses adalah:

Pertama, bimbingan intensif kepada seorang guru yang kopenten sesuai dengan keilmuannya. Artinya, memilih seorang  guru yang memiliki keahlian khusus dalam pengajaran kaligrafi. Hal ini penting, karena guru inilah nanti yang akan mengarahkan kepada ushul keilmuan yang akan menjadi pegangan bagi murid-muridnya untuk mengembangakan keilmuan tersebut kepada jenjang selanjutnya.

Kedua,  seorang guru memilih pena yang terbuat dari kayu sebagai alat mengajar. Biasanya mereka memilih kayu iran sebagai pena dalam menulis. Pena iran ini sengaja dipilih karena ringan dan bentuknya panjang dan tidak mudah pecah. Mungkin alat disini bisa dimaknai berupa handam, atau aren atau bambu.

Ketiga, memilih tinta hitam. Sebenarnya mereka banyak sekali variasi warna saat menulis khat. Namun, kebanyakan mereka menggunakan warna hitam. Terlebih lagi jika saat latihan. Mengapa? Karena karakter warna hitam ini lebih jelas saat digunakan menulis. Apalagi, jika warna kertasnya putih. Selain itu, harga nya juga terjangkau. Sehingga, tidak memberatkan bagi murid untuk membelinya.

Keempat, mereka menggunakan titik sebagai mizan (ukuran) dalam menentukan proporsi sebuah huruf. Konsep titik yang ditawarkan oleh Ibnu Muqlah ternyata menjadi sumbangsih besar dalam perkembangan kaligrafi di dunia seni Islam. Dengan konsep ini, seorang guru dapat mengarahkan muridnya untuk menulis huruf kaligrafi dengan baik dan benar. Karena konsep titik ini sebagai jantung nadinya yang akan menentukan bagus tidaknya sebuah huruf. Itu mengapa kaligrafer setelahnya seperti Ibnu Bawwab dan Yaqut Musta’shimi dan kaligrafer setelah mereka banyak mengamfbil manfaat dari konsep keilmuan yang beliau ajarkan, semoga Allah SWT menjadikan ilmu ini sebagai amal jariah bagi beliau, amin.

Keempat, adanya masq. Yaitu sebuah kurrasah yang khusus dibuat untuk digunakan sebagai bahan ajar murid-murid tanpa mengabaikan seorang guru. Karena peran guru sebagai petunjuk yang dapat memberikan keterangan terkait apa yang ada di dalam masyq tersebut, sebagaimana kita ketahui bahwa buku ibarat peta, sedangkan guru adalah pemandunya.  Untuk lebih jelasnya, silahkan baca tentang apa itu masyq di sini. (A. Yasir Amrullah/hamidionline.net)

Sumber tulisan: Ma’ruf Zariq, 1985, Kaifa Nuallimu al-Khat Dirasah Tarikhiyyah Fanniyah Tarbawiyyah, (Damaskus: Dar Fikr)

Continue Reading

Mutiara Kaligrafi Ramadhan: Merubah Warna di Bulan Puasa

ramadhan

Ibadah puasa yang berperan merubah manusia biasa menjadi manusia muttaqin luarbiasa, memberi inspirasi untuk merubah warna putihnya kaligrafi menjadi warna-warni. Putih artinya suci yang melambangkan kesucian, tapi statis dan datar. Biasa-biasa saja, tanpa dinamika. Akhirnya, dengan meng-copy Ramadhan yang dinamis dan kaya nuansa, saya olah kepada warna kuning emas (yang berarti agung, cerah, dan rezeki melimpah), merah (yang berarti berani), hijau (yang berarti subur makmur, harapan), biru (yang berarti anggun, berwibawa), dengan prioritas putih untuk selalu konsisten menjaga kesucian. Melibatkan warna putih ini, kata Mohyeddin Tolu dalam kitabnya, “Allaon ‘Ilman wa ‘Amalan” ada positifnya: “Level warna (tint), yaitu membuat warna lebih bercahaya dengan menambahkan putih kepadanya.”

Dalam bukunya “Color Harmony: A Guide to Creative Color Combination”, Hideaki Chijiiwa menyimpulkan bahwa memilih warna adalah seni (choosing color is fun). Maka, lukisan yang diubah dari satu warna menjadi warna-warni menunjukkan kesempurnaannya. Karena, kata Mohyeddin lagi, telah menjadi tercakup dalam satu unit karakter warna yaitu: hue/jenis2 warna, value/nilai, dan intensity/level olah. Walhasil, perubahan ke warna 2 beragam tersebut, merubah lukisan jadi lebih bagus dan artistik.

Oya, puasanya bagaimana? Ramadhan maknanya pembakaran. Setelah “dibakar” untuk digembleng, ditempa, dan dilatih, para shoimin seharusnya berubah menjadi “manusia baru” yang lebih kuat menahan hawa nafsu, lebih giat qiyamullail, lebih rajin membaca al-quran dan selalu siap mengamalkan isinya, dan tambah dermawan. Tentu, semua pencapaian tersebut “harus dengan ilmunya”, karena puasa juga merupakan ajang menuntut ilmu. Artinya, puasa tanpa ilmu hanya menghasilkan puasa minimalis, yakni “minimal tidak makan dan minum.” Hanya itu. Ini berbahaya dan merugi, karena akan distempel Nabi SAW dengan cap: “Betapa kerap orang berpuasa: yang dia dapat dari puasanya hanyalah lapar dan haus.” (HR Thabrani dari Ibnu Umar)

Untuk berubah, dia harus melakukan puasa maksimalis. Artinya, mengisi hari-hari puasanya dengan kegiatan amal shaleh yang padat, siang-malam secara maksimal. Puasanya dilakukan dengan taktis alias dengan ilmunya, mengikuti tata cara dari Nabi SAW: “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dan mengetahui batas aturannya serta menjaga apa-apa yang seharusnya dijaga, dia akan diampuni segala dosanya yang telah lalu.” (HR Ahmad dan Baihaqi dari Abu Said Al-Khudri)

Mustafa Al-Siba’i dalam “Hikmah Al-Shoum wa Falsafatuhu”, menyebutkan, bahwa shoimun yang benar akan memperbaiki apa-apa yang telah rusak, memperbaharui yang telah lama, bahkan sanggup mengobati segala sesuatu yang sakit. Karena “kekuatan mereka telah menyatu dengan kekuatan Tuhan,” katanya.

Kalau boleh dibuatkan umpama untuk dicontoh, puasa yang bisa merubah adalah puasa ulat bukan puasa ular yang tidak membawa perubahan. Biar kembali muda, ular harus puasa yang disusul proses ganti kulit dengan yang baru. Setelah itu? Tidak ada yang berubah. Namanya tetap ular. Tampang dan bentuknya seperti dulu. Cara jalannya masih sama. Makanannya kayak itu-itu saja. Bahkan, sifat dan kelakuannya tak berubah: bila mematuk bisa bikin kita celaka. Berbeda dengan ulat.

Biar “sakti mandraguna” (istilah puasanya: “menjadi orang bertaqwa), ulat harus puasa 40 hari (kayak hitungan shalat arba’in, hadis2 arbain, haji 40 hari). Segera saja terjadi perubahan-perubahan signifikan pada tubuhnya: terstruktur, sistematis, dan massif. Di tengah-tengah bertapanya, namanya segera berubah jadi kepompong. Usai puasa, julukannya jadi kupu-kupu. Tampang dan bentuknya kini lebih cantik. Cara jalannya dulu merayap, sekarang terbang. Pilihan makanannya dari daun pindah ke madu. Sifat dan kelakuannya? Subhanallah. Dia hobi membantu penyerbukan untuk proses pembuahan paling sempurna pada bunga yang manfaatnya dapat dipetik dan dirasakan berbagai kalangan. Lukisan berubah warna tambah artistik. Ulat berubah jadi kupu-kupu semakin cantik. Dengan puasa, mukmin jadi orang bertaqwa. Benar-bener asyiiiik. Sungguh asyik. [Sintya/hamidionline.net]

*ditulis oleh al-Ustadz Didin Sirojuddin AR. Pendiri Lembaga Kaligrafi Alquran (LEMKA) di Jakarta (1985), disusul tahun Pesantren Kaligrafi Alquran Lemka di Sukabumi (1998), dua kendaraan perjuangannya yang diiringi aktivitasnya menulis buku-buku kaligrafi, penjurian lomba kaligrafi di MTQ Nasional dan ASEAN, dan berkeliling membina kaligrafi di pelbagai pelosok Indonesia.

Continue Reading

Bendera Tauhid dan Tradisi Taqlidul Khat

• التقليد فى الخط وسيلة من وسائل التجويد.
“Meniru kaligrafi termasuk salahsatu sarana untuk mempercantik tulisan.”

Menyaksikan kibaran beribu bendera tauhid yang menggetarkan hati dan mengobarkan semangat bela agama dalam acara reuni 212 di Monas, jadi teringat kepada tradisi Taqlidul Khat (تقليدالخط) yang populer di kalangan kaligrafer. Taqlid yang berarti “meniru/menjiplak/mengimitasi/mereplika” digunakan sebagai sarana belajar-mengajar kaligrafi dengan menyontoh karya guru oleh murid-muridnya secara bergiliran. Atau semata meniru untuk menyamai karya aslinya. Banyak kalimat pilihan yang sering ditiru, salahsatu yang populer dan banyak diidolakan adalah Kalimat Tauhid:
لاإلـــه إلااللـه محمـــدرســـول اللـه.
Kalimat Tauhid dengan khat Tsulus yang indah ini mula-mula ditulis oleh Muhammad Syafiq, kaligrafer kelahiran Istanbul 1235 H/ 1820 M, wafat 1297 H/1880 M, yang ditiru oleh Abdul Muta’al Muhammad Ibrahim. Sekian tahun kemudian, Sami Afandi (lahir di Istanbul 1253 H/1838 M) menirunya yang ditiru ulang oleh Ahmad Arif Al-Falbawi (perbatasan Bulgaria, 1246 H/1830 M–1327 H/1909 M), lalu ditiru lagi oleh Ismail Haqqi (lahir di Istanbul 1289 H/1873 M). Peniruan berlangsung terus tanpa henti, karena kalimat tersebut merupakan “deklarasi prinsip” setiap muslim. Bahkan, sebagiannya dijadikan masyaq untuk latihan murid. Variasinya berkembang bersama kata-kata idola lain seperti:
بســــــــــــم الله الرحمن الرحيــــــم
yang ditulis oleh Mustafa Raqim, lalu ditiru oleh Abdul Aziz Al-Rifa’i, ditiru lagi oleh Abbas Al-Baghdadi sampai seluruh kaligrafer menirunya.

Ada yang menarik tentang masyaq/مشق yaitu lembar “coret-coretan guru” yang ditiru murid-muridnya untuk memperlancar tulisan. Dr. Afif Al-Bahnasi mendifinisikan masyaq (jamaknya amsyaq/أمشاق) sebagai berikut:

سلاسة الخطوط وسرعتها وامتدادها
(Kelancaran tulisan, kecepatannya, dan memanjangkan tarikannya).

“Masyaqal khatta” (مشق الخط) berarti “menulis khat secara lancar”. Guru khat zaman dulu mempergilirkan selembar masyaq kepada murid-muridnya karena belum ada alat pengganda seperti foto copy di zaman now. Kata guru, kira-kira begini: “Miiiiiid, Hamid, tirulah tulisanku sampai sama persis. Kalau selesai, kasihkan sama Mustafa, kemudian kepada Fatimah. Terus tiru lagi oleh yang lainnya ya.” Masyaq coretan tangan guru pun ditiru atau dijiplak habis oleh semua muridnya sampai mantap sempurna atau persis 100 %.

Masyaq terhubung dengan kata masyaqqah/مشقة yang berarti “kesulitan” karena kaligrafi itu sulit (الخط أمرصعب), “Setiap permulaan juga sulit” (Every beginning is difficult) sebagai pintu gerbang ke “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan” (فإن مع العسر يسرا). Tapi yang terpenting, masyaq adalah sarana belajar-mengajar kaligrafi yang mewariskan tradisi TAQLIDUL KHAT/تقليد الخط (yaitu meniru/menjiplak kaligrafi) yang kini berkembang di kalangan khattat Timteng dengan teknologi komputer yang canggih.

Menurut ahli pendidikan kaligrafi Mesir, Fauzi Salim Afifi, “meniru karya para khattat besar termasuk tahap pertama namun sekaligus pula tahap terakhir belajar kaligrafi,” karena ketika mulai belajar, kita meletakkan lembaran contoh latihan para master kaligrafi di depan mata kita kemudian menirunya dari huruf alif hingga ya yang dilanjutkan kepada huruf-huruf sambung. Tahap berikutnya, murid meniru penuh karya gurunya lalu pindah kepada karya-karya guru yang lain sehingga tangannya “menemukan teknik dan karakter guru-guru tersebut bahkan jadi bagian dari karakter mereka”.
Di kampus-kampus seni rupa Indonesia, hal sama terjadi ketika dosen menugaskan mahasiswa untuk meniru 10 karya pelukis besar seperti Picasso, Salvador Dali, Monet, Renoir, Rembrandt, Da Vinci, Van Gogh, Mat Rothko, Johan Pollock, Wassili Kandinsky, dll dengan tujuan agar tangannya akrab dan senyawa dengan karakter lukisan mereka. Para khattat besar dan pelukis maestro semuanya telah pernah menempuh cara-cara saling tiru tersebut. Maka, “meniru bukan barang tabu. Bila ingin maju, harus belajar dengan meniru”.
Dari file riwayat, dikenal para murid hebat seperti Abdullah Zuhdi, Sayid Al-Rifa’i, Muhammad Arif, Ismail Haqqi, Jalaluddin, Mir Imad Al-Huseini, Hamid Al-Amidi, dan lain-lain “meniru para guru” seperti Hafizh Usman, Mustafa Raqim, Mustafa Izzat, Muhammad Syafiq, Muhammad Sami, Muhammad Mu’nis, dan lain-lain sehingga “para murid tadi menjadi guru yang ditiru kembali oleh murid-murid lain berikutnya” seperti Muhammad Ja’far, Muhammad Ridwan, Muhammad Mahfuzh, Sayid Ibrahim, Najib Hawaweni, Muhammad Husni, Muhammad Abdul Kadir, Muhammad Al-Syahat, Muhammad Al-Haddad, Hasyim Muhammad Al-Baghdadi, dan lain-lain. Akhirnya murid-murid ini pun menjadi guru-guru yang ditiru lagi oleh orang yang berusaha mempercantik tulisan mereka sekarang, esok, dan esoknya lagi. Tradisi ini jadi mirip-mirip “tradisi sanad” dalam lingkup ilmu hadits.

إذن فالتقلــيد وســـيلة من وســائل التجويد
“Dengan demikian, meniru merupakan salahsatu sarana meningkatkan kecantikan.”

*ditulis oleh al-Ustadz Didin Sirojuddin AR. Pendiri Lembaga Kaligrafi Alquran (LEMKA) di Jakarta (1985), disusul Pesantren Kaligrafi Alquran Lemka di Sukabumi (1998), dua kendaraan perjuangannya yang diiringi aktivitasnya menulis buku-buku kaligrafi, penjurian lomba kaligrafi di MTQ Nasional dan ASEAN, dan berkeliling membina kaligrafi di pelbagai pelosok Indonesia.

Continue Reading

Antara Qiraat, Rasm Mushaf dan Khat [1]

qiraat-mushaf

Tulisan ini ingin menjelaskan hubungan antara Ilmu Qiraat, Rasm al-Qur’an dan juga Kaligrafi. Mengingat antara ketiga istilah di atas saling berkaitan dan mempelajari salah satunya meniscayakan juga mempelajari ketiganya. Tentu saja, masih banyak kekurangan dari apa yang akan dibahas dari ketiga istilah di atas. Namun setidaknya tulisan ini telah mencoba memberikan sumbangsih di dalamnya. Berikut tulisan pertama dari dua tulisan berseri.

Mempelajari al-Qur’an bagi setiap Muslim adalah salah satu aktivitas terpenting, bahkan Rasulullah SAW menyatakan bahwa: Sebaik-baik kamu adalah siapa yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya. Menurut Quraisy Shihab, Al-Qur’an adalah suatu kitab suci yang memancar darinya aneka ilmu keislaman, karena kitab suci tersebut mendorong pembacanya untuk melakukan pengamatan dan penelitian. Upaya untuk memahami al-Qur’an dapat dilakukan baik dari sisi kebahasaan, keagamaan, maupun filsafat meskipun berbeda-beda dalam menganalisis, memilih istilah, dan mendeskripsikannya. Namun kesemuanya menjadikan teks-teks al-Qur’an sebagai fokus pandangan dan titik tolak studinya. Karena semua ilmu keislaman saling bersinggungan dan berhubungan antara satu keilmuan dan keilmuan lainnya serta saling dukungmendukung dan saling memperkaya.

Salah satu usaha untuk mempelajari al-Qur’an dapat dilakukan melalui bacaan dan tulisan. Karena keduanya sebagai jembatan penghubung yang baik dalam proses transformasi keilmuan. Dengan bacaan dan tulisan, disiplin keilmuan dapat menyebar dan terjaga dengan baik. Selain itu, tulisan juga salah satu instrumen yang penting sebagai sarana agar dapat membaca yang selanjutnya untuk memahami isi yang terkandung dalam al-Qur’an.

Pada awal Islam dengan turunnya wahyu, kegiatan untuk membaca dan menulis menjamur dikalangan para sahabat dan muslimin yang hidup pada saat itu. Hal tersebut muncul atas rasa kecintaan mereka terhadap Al-Qur’an Al-Karim. Ada beberapa dari kalangan sahabat yang langsung ditunjuk Rasul sebagai sekretaris untuk menulis ayat dari setiap wahyu yang diterima Rasul. Mereka menuliskannya dibeberapa media seperti batu, kulit binatang, pelepah kurma, tulang dan lain-lain disamping juga adanya para huffadz yang menjaga Al-Qur’an dari sisi lisan. Peran tulisan pada waktu itu lebih diarahkan kepada proses dokumentasi wahyu.

Setelah proses penulisan wahyu selesai, terdapat masa-masa dimana terjadi banyak perbedaan terhadap bacaan Al-Qur’an (yang disebut dengan Qira’at). Hal tersebut mendorong sahabat Ustman bin Affan yang bertidak sebagai Khalifah pada saat itu untukmelakukan kodifikasi Al-Qur’an dan membuat mushaf dari sumber yang terpercaya sebagai acuan dan solusi umat agar masalah perbedaan bacaan tersebut bisa dilerai. Disinilah cikal bakal munculnya ilmu Rasm Al-Qur’an sebagai sebagai peninggalan pengetahuan yang diwariskan dari kekhalifahan Ustman bin Affan.

Dalam keilmuan tersebut dibahas secara detail yang berkaitan dengan bentuk ragam penulisan dengan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan, baik dalam penulisan lafallafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakannya. Wilayah kajian Rasm ini meliputi Kaidah Buang (al-Hadzf), Kaidah Penambahan (al-Ziyadah), Kaidah Hamzah (alHamzah), Kaidah Penggantian (al_Badal), Kaidah Sambung dan Pisah (washl dan fashl) dan lain-lain.

Selain peran ilmu Rasm Al-Qur’an yang disinggung diatas, peranan khat Al-Qur’an juga memiliki posisi yang strategis. Yaitu sebagai media tulisan yang digunakan dalam penulisan ayat-ayat al-Qur’an al-Karim meskipun masih dalam bentuk yang sederhana, diharapkan agar tulisan al-Qur’an terlihat lebih indah dan menawan sehingga lebih mudah untuk dibaca.

Perkembangan ilmu Qiraat, Rasm, Khat dan ‘Ulum Al-Qur’an lainnya menjadi salah satu media sebagai misi dakwah untuk menyebarkan agama Islam yang santun, lembut , indah dan Rahmatan Li al-Alamin. Tentunya perkembangan ini melalui tahapan-tahapan yang ketat, baik dari segi penulisan, pengajaran, metode yang disampaikan dan lain-lain. Semuanya telah melewati sejarah yang panjang. [A Yasir Amrullah/hamidionline.net]

Continue Reading

Jaly Diwani Madrasah ٍSami Afandi

jaly diwani sami afandi


Sami Afandi adalah salah satu kaligrafer yang hidup pada era Daulah Turki Usmani. Beliau juga salah satu kaligrafer yang tidak diragukan ketokohannya, terutama di bidang khat pena besar (jaly), seperti Jaly Tsuluts, Jaly Ta’liq dan Jali Diwani. Jika ingin mengetahui lebih dekat tentang beliau, maka Anda perlu membaca biografi Sami Afandi secara utuh.

Kelebihan tarkib Sami Afandi pada Jali Diwani adalah susunan hurufnya yang penuh pada semua sisi, sehingga tidak terlihat longgar pada bagian dan ramai di bagian lainnnya. Tarkib beliau semakin indah karena ukuran syarith  yang proporsional dalam ketinggian maupun kemiringannya dari garis. Tarkib Sami Afandi juga dihasilkan dari ketelitian dalam membagi huruf dan kalimat tanpa meninggalkan satu bagian kecuali menepatkan pada tempat dan ukuran yang paling sesuai.

Sebagai penghormatan atas peran dan ketokohan Sami Afandi, maka pada tahun 1890, atas prakarsa dari Ahmad Jawwad, Assahdr al-A’dzam (Perdana Menteri) Turki Usmani saat itu, didirikanlah Madrasah al-Khatthatin, dengan Sami Afandi sebagai kepalanya.

Perlu dicatat di sini, bahwa khat Jaly Diwani corak Turki memiliki ciri khas, yaitu tarkib syarith tidak tersusun lebih dari dua kalimat. Artinya bahwa kaligrafer Usmani saat itu tidak menumpuk kalimat pada susunannya lebih dari dua kalimat. Berbeda dengan Jaly Diwani yang ditulis di negara-negara Arab, di mana susunan pada jaly diwani ada yang lebih dari tiga tumpuk bahkan lebih.

Jaly Diwani pada awalnya tidak ditulis di luar Turki, bahkan hanya dipakai secara internal pada Diwan Hamayuni. Para kaligrafer pun sangat menjaga tradisi tersebut, hingga berakhirnya Daulah Usmaniyah pada 1923. Sejak saat itu Jaly Diwani ditulis di luar Turki karena permintaan dari beberapa pihak, seperti Jaly Diwani yang berada di Qashr Manial, Mesir yang ditulis oleh Hajj Kamil Akdik.

Kembali kepada Sami Afandi, beliau dipercaya sebagai kepala pada al-Khatthatin selama sepuluh tahun, yaitu hingga tahun 1900. Pada lima tahun pertama, merupakan era keemasan beliau dalam mengajar dan berkarya, yaitu sekitar tahun 1895.

Ahmad Kamil Akdik
Jaly Diwani – Ahmad Kamil Akdik

Di antara murid Sami Afandi yang penting untuk disebutkan adalah Al-Hajj Kamil Akdik. Beliau belajar berbagai macam khot kepada sang guru, di antara jenis khot yang paling berpengaruh adalah khot Jaly Diwani. Karena itu bisa kita lihat bahwa bentuk tarkib serta huruf pada karya Hajj Kamil di Jaly Diwani sangat mirip dengan gurunya, Sami Afandi. Setelah Hajj Kamil Akdik, berikutnya khattath Ismail Haqqi Altunbezer.

Tulisan Ismail Hakki maupun tarkibnya jika dilihat memang mempunyai beberapa perbedaan dengan tulisan gurunya. Namun secara umum, tarkib Ismail Hakki masih mengikuti kaidah dan corak dari Sami Afandi. Selain dua kaligrafer di atas, ada seorang kaligrafer lagi yang menjadi “murid ketiga” Sami Afandi di Jaly Diwani, yaitu Farid Bik. Farid Bik lah yang melanjutkan Sami Afandi mengajar di al-Khatthatin.

 

Ismail Hakki Altunbezer
Jaly Diwani – Ismail Hakki Altunbezer

Beberapa karya Farid Bik bisa kita temukan pasca bergantinya Turki menjadi Negara Republik. Namun beberapa karyanya tidak beridentitas. Musthafa Halim Ozyazici lah yang memberi tauqi’ pada karya Farid Bik tersebut. Karena Musthafa Halim adalah satu-satunya murid Farid Bik yang melanjutkan “Madrasah Sami” pada Jaly Diwani.

Di antara kelebihan Halim Afandi adalah goresan beliau yang akurat dan cepat ketika menulis. Banyak tulisan beliau pada jaly diwani yang ditulis dengan tarkib mubasyir (langsung). Karena cepat dalam menulis tidak heran jika beberapa kaligrafer mengatakan bahwa ketika Halim Afandi seringkali selesai menulis bagian akhir tarkib, padahal tinta tulisan pada bagian awalnya masih basah.

Gambar berikut adalah Jaly Diwani dan Diwani yang ditulis oleh Halim Afandi pada usia 18 tahun, saat beliau masih menjadi murid di Madrasah Khattathin.

Mustafa Halim Özyazıcı
Jaly Diwani – Mustafa Halim

Jika Halim Afandi adalah satu-satunya murid Farid Bik pada khot Jaly Diwani, maka satu-satunya kaligrafer yang menjadi murid Halim Afandi dan belajar Jaly Diwani dari beliau adalah Prof. Dr. Ali Alparsalan, guru dari al-Ustadz Belaid Hamidi.

Kalimat terakhir tentang Jaly Diwani adalah, jenis khot yang didalam bentuk dan tarkibnya terdapat sifat tawadhu’ sekaligus wibawa. [muhdnur/ hamidionline]

*Syarith secara bahasa berarti pita. Adalah istilah untuk satu kesatuan tulisan jaly diwani dalam bentuk klasik yang memanjang kemudian naik dan berakhir dengan penutup berbentuk khas, sebagaimana yang sudah maklum diketahui.

*Sumber: Muhadharah Prof Mustafa Ugur Derman tanggal 18 Januari 2016 di Dubai pada acara Jaly Diwani Dubai Arabic Calligraphy Exhibition, diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab oleh Ustadz Tamimi. Dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia dengan beberapa penyesuaian oleh tim Ahaly Hamidi. Selengkapnya bisa diakses pada link berikut ini.

[mom_video type=”youtube” id=”https://www.youtube.com/watch?v=azKUUOEN3Pg”]

 

Continue Reading

Wejangan Sang Kaligrafer (1)

yaqut mustashimi

Pengalaman, luasnya ilmu, lamanya bersinggungan langsung dengan pena, tinta dan huruf huruf ayat suci, meninggalkan bekas yang dalam bagi seorang kaligrafer. Mereka mengungkapkan kesan, nasehat dan petuah, tidak hanya semasa aktif bergelut dengan huruf, tapi juga saat saat maut menjemput. Berikut bagian pertama dari wejangan kaligrafer besar yang akan kami tulis secara berseri. Biidznillah.

Salah seorang penulis ِwahyu, juga Amirul Mu’minin, Ali bin Abi Thalib berpesan supaya orang tua mengajari anaknya menulis, karena menulis merupakan keterampilan paling penting yang harus dimiliki seseorang. Menulis yang beliau maksudkan kemudian dijelaskan dalam riwayat lainnya. Imam Ali bin Abi Thalib pun menjelaskan “Hendaknya kalian bisa menulis dengan baik (husnul khath), karena ia merupakan salah jatu jalan pembuka pintu rejeki”. Lalu beliau pun lebih merinci di manakah husnul khat hendaknya dipelajari. Imam Ali bin Abi Thalib melanjutkan “(rahasia) khat itu tersembunyi pada pengajaran seorang guru, dan kekuatannya ada banyaknya latihan, sementara keabadiannya ada pada agama Islam.

Beberapa abad setelah itu, seorang kaligrafer besar pada masa Daulah Abbasiyah yang juga bergelar “qiblatu al-kuttab”, ِِJamaluddin Abu al-Majd yang lebih terkenal dengan sebutan Yaqut al-Musta’shimi (w.696), juga meninggalkan nasehat yang hingga saat ini masih lekat. Beliau mengatakan bahwa khot sejatinya adalah seni geometri yang bersumber dari luapan rohani (handasah tugasnya), namun begitu khot terwujud melalui alat yang bersifat materi (alat jusmaniyah). Karena itu beliau lantas melanjutkan bahwa baik tidaknya sebuah tulisan tergantung pada pena; jika kamu siapkan penamu dengan baik, itu berarti kamu telah memperbaiki tulisanmu. Tapi sebaliknya, jika kamu menyepelekan pena, berarti kamu telah merusak tulisanmu”. Pesan yang sangat penting untuk dicatat oleh siapa saja yang belajar khot, bahwa pena adalah aspek penting dalam menulis. Menjaga pena berarti menjamin tulisan bersih dan indah. Di sinilah letak pentingnya menjaga peralatan dalam belajar khot. Dalam istilah yang lebih tepat adalah “ihtiram al-adawat”, menjaga dan merawat serta menghargai pena, serta alat lainnya. Karena hal tersebut merupakan salah satu rahasia, dalam menulis yang benar dan indah. [muhd nur/ hamidionline]

image credit: http://fnkhatt.blogspot.co.id

Continue Reading