Selamat! Pemenang Pertandingan Kaligrafi Islam Nusantara, Sabah, Malaysia, ke-4

Seminggu ini, jagat sosmed kaligrafi Indonesia kembali ramai dengan perbincangan seputar lomba kaligraf. Sebagai kaligrafer, tentunya aneh jika kita tidak ikut membincang, bersyukur, mengapresiasi dan ikut bangga atas prestasi kaligrafer tahan air tahun ini. Adalah hasil Pertandingan Kaligrafi Nusantara ke-4 yang dirilis resmi dua hari yang lalu, sudah ditunggu-tunggu oleh kaligrafer Nusantara. Ahaly Hamidi mengucapkan kepada seluruh pemenang pada ketiga kategori; jalu sulus-sulus, sulus-naskh, dan jaly diwani.

Memang, beberapa nama sudah sering terdengar pada lomba-lomba sebelumnya, akan tetapi ada juga nama yang baru mengorbit dan mulai menunjukkan eksistensinya di lomba pada tingkat Nusantara ini. Jika dilihat dari keseluruhan ketegori, kaligrafer tanah air masih mendominasi, alhamdulillah. Setidaknya hal tersebut menjadi indikasi bahwa model klasik yang dilombakan dengan ketentuan ala lomba internasional, bisa diikuti dengan baik oleh beberapa kelompok pegiat kaligrafi Indonesia yang ada di sanggar, sekolah kaligrafi, serta markaz khot yang pada tahun-tahun terakhir semakin menunjukkan peran positif dalam membentuk karakter tulisan serta keilmuan kaligrafer tanah air. Sebuah gerakan yang tentunya perlu diapresiasi dan tidak bisa dianggap sebelah mata.

Semoga kaligrafer tanah air terus perprestasi serta kaligrafi di Indonesia bisa berkembang dan semakin terbuka dengan model, madrasah, uslub, yang sudah menjadi pakem kaligrafi di dunia internasional, meskipun juga terus menggali kekhasan Nusantara, tanpa menjadikannya sebagai penghambat untuk maju dan berkiprah dalam dunia kaligrafi internasional di era industri 4.0. Semoga!

Selamat kepada para pemenang, semoga selalu menginspirasi anak bangsa!

Khot Sulus Jaly dan Sulus ‘Adi

[table id=25 responsive=scroll /]

Khot Jaly Diwani

[table id=26 responsive=scroll /]

Khot Sulus Adi dan Nasakh

[table id=27 responsive=scroll /]

Berikut beberapa foto karya pemenang. Kami ambil dari beberapa sumber

 

Continue Reading

Latihan Bersolek Mempercantik Huruf

Wahai orang yang ingin mempercantik kaligrafi, hendaknya engkau banyak latihan. Moto di atas menggambarkan, betapa untuk mencapai kesempurnaan kaligrafi diperlukan perjuangan yang gigih. Perjuangan tersebut bernama latihan (tadrib). Banyak latihan adalah satu-satunya syarat menuju sukses menulis. Instrumen lain hanyalah syarat-syarat tambahannya. Mengapa demikian?

Karena kaligrafi yang dijuluki Art of Islamic Art, menurut analis kaligrafi Marouf Zoreiq adalah ilmu,seni, dan juga filsafat. Menyatukan kaligrafi ke dalam triple atribut tersebut harus dengan usaha aktif-kreatif karena kaligrafi bukanlah skill biasa, tetapi juga “seni perjuangan” yang diterobos dari segala pintu, yaitu: pintu ilmu dengan metode, teknik atau teorinya, pintu seni dengan pertimbangan artistiknya, dan pintu filsafat dengan pemikiran kreatifnya.

Selain tadrib yang berarti latihan atau gemblengan, dikenal pula istilah masyaq yang berarti coret-coretan. Karena latihan kaligrafi harus dengan banyak membuat coret-coretan. Masyaq berhubungan dengan kata masyaqqah yang berarti kesulitan (difficulty) . Karena “kaligrafi itu sulit” maka, harus ditaklukkan dengan banyak latihan, yang berarti banyak bersulit-sulit, berpayah-payah, banyak merasakan pedihnya kesulitan, sesulit latihan tentara di medan tempur. Atau seperti kawah candradimuka tempat Gatotkaca digembleng jadi manusia “balung wesi urat waja” yang sakti mandraguna bisa terbang segala. Di atas latihan-latihan sulit dan meletihkan itulah tonggak kaligrafi bisa ditegakkan dengan kukuh, seperti kata Imam Ali:

إن قوام الخط فى كثرة المشق
“Sesungguhnya tonggak profesionalnya kaligrafi adalah dengan banyak latihan”

Lantas, berapa banyak waktu yang diperlukan untuk latihan? Berlatih sama dengan menghapal pelajaran. Berarti, frekuensi keduanya sama. Imam Syafi’i mengulang pelajaran sampai 40 kali, bahkan menambahkan waktu belajar dengan sahirollayal atau bangun malam:

بقدرالكد تكتسب المعالى # ومن طلب العلى سهرالليالى
“ Sebanyak kerja keras yang dilakukan, sebatas itu pula kedudukan tinggi diraih # Barangsiapa menginginkan kedudukan tinggi, hendaknya bangun di malam hari”

Imam Al-Jarnuzi dalam kitab Ta’limul Muta’allim, merinci alokasi waktu belajar dalam fasal Metode Menghapal: “Ulangi pelajaran yang kemarin 5 x, hari sebelum kemarin 4 x, hari sebelumnya lagi 3 x, hari sebelumnya lagi 2 x, dan hari sebelumnya 1 x.” Wah, dahsyat! Metode mengulang pelajaran begini seperti cara Nabi SAW menyampaikan wahyu-wahyu yang baru diterimanya. Apabila ada yang minta ayat-ayat baru, Nabi tidak langsung memberikannya sampai orang itu menghapalkan dulu ayat-ayat yang telah diberikan sebelumnya di hadapan beliau. Apabila terbukti hapal, barulah Nabi berikan ayat-ayat yang baru. Subhanallah, ini metode ngajar yang sistematis dengan hasil yang maksimalis.
Seperti itu pula cara latihan kaligrafi: 40 balik, 30 balik, 25 balik.

Naja Al-Mahdawi dari Tunisia beruji coba huruf 16 jam setiap hari. Guru kaligrafi Mesir Fauzi Salim Afifi bahkan mengultimatum: “apabila ingin jadi kaligrafer profesional, maka latihannya harus setiap saat.” Pada saat sedang tidak menulis dengan kalam atau kuas pun, dia harus berpikir seolah-olah sedang latihan menulis dengan menggerak-gerakkan telunjuknya di atas paha atau sajadahnya: “menulis huruf”. Matanya pun harus ikut latihan menulis. Lha, caranya? Dinding rumah, lemari atau pintu kamarnya ditempeli lukisan huruf-huruf yang sedang diperdalamnya. Nah, sambil lewat, matanya diplototkan ke tempelan-tempelan huruf itu. Tapi, yang jelas, maksud dari semua itu adalah “terus-menerusnya berlatih setiap waktu, tanpa henti”. Nabi juga memuji amalan yang ditekuni terus-menerus sebagai amalan paling baik:

خيرالأعمال أدومها
“Amalan paling baik adalah yang dikerjakan kontinyus”

Memang berat, dan berat. Tetapi kita harus terlatih mikul benda berat, biar yang berat lama-lama menjadi terasa enteng atau ringan. Yang lebih penting lagi “jangan istirahat belajar khot”

داوم على الدرس لا تفارقه # العلم بالدرس قام وارتفع

Teruslah belajar, jangan tinggalkan pelajaran. Sebab dengan dipelajari, ilmu akan meningkat dan berkembang. (emnoer/hamidionline.net)

*ditulis oleh al-Ustadz Dr. Didin Sirojuddin AR. Pendiri Lembaga Kaligrafi Alquran (LEMKA) di Jakarta (1985), disusul Pesantren Kaligrafi Alquran Lemka di Sukabumi (1998), dua kendaraan perjuangannya yang diiringi aktivitasnya menulis buku-buku kaligrafi, penjurian lomba kaligrafi di MTQ Nasional dan ASEAN, dan berkeliling membina kaligrafi di pelbagai pelosok Indonesia.

Continue Reading

Kaligrafer Wanita Dalam Pentas Sejarah, Bagian 2

Sebagaimana seni lain, khot bukanlah seni dominasi laki-laki, tidak bias gender. Ini berarti peran wanita dalam sejarah khot tidak perlu dipertanyakan. Jika demikian adanya, maka perlakuan seorang guru kepada murid wanitanya yang sedang belajar khot, hendaknya jauh dari kesan meremehkan, atau menomorduakan. Dalam sejarah, terdapat banyak tokoh kaligrafer wanita yang hingga sekarang namanya masih abadi. Bahkan kehadiran kaligrafer wanita sudah dicatat sejarah sejak masa awal Islam.

Seorang sejarawan dan penyair Persia yang hidup di Baghdad, Ahmad bin Yahya al-Baladzuri (W. 279 H) dalam kitabnya “Futuh al-Buldan”, menyebutkan beberapa nama kaligrafer wanita yang ada pada masa awal Islam. Di antaranya, dalam sebuah riwayat, Rasulullah saw. berkata kepada kepada as-Syifa’ bintu Abdullah al-Adawiyah (W. 20 H), seorang shabiyah ahli ruqyah penyakit serta salah satu dari wanita menguasai baca tulis, menguasai seni khot serta sastra Arab. Rasulullah meminta kepada as-Syifa’ supaya mengajari Hafshah cara meruqyah penyakit namlah (sejenis sakit gatal dan inflamasi pada kulit), sebagaimana ia mengajari Hafshah menulis (khot). Selain Hafshah (W. 41 H), as-Syifa’ juga mengajari Ummu Kultsum bintu ‘Uqbah (W. 41 H) dan beberapa wanita lainnya.

Riwayat lain yang menujukkan peran besar seorang wanita dalam khat berasal dari seorang ulama besar, sejarawan, sastrawan, ahli usul fikih serta teolog, Ibnu Hazm al-Andalusi adz-Dzahiri (W. 456 H) dalam Risalah Thauq al-Hamamah fi al-Ulfah wal al-`Ullaf, menyebutkan dengan terus terang bahwa beliau belajar menulis dan khot kepada seorang wanita, beliau berkata “Mereka (hunna) mengajariku al-Qur’an, meriwayatkan untukku banyak syair serta melatihku menulis khot”.

Sumber sejarah lainnya, seperti “kitab as-Shilah fi Tarikh Aimmah al-Andalus” karangan Abu al-Qasim Khalaf bin Abdu al-Malik (W. 578 H) menyebutkan nama-nama wanita yang masyhur dengan keindahan tulisannya. Di antaranya adalah Fathimah bintu al-Hasan bin al-Aqra’ (W. 480 H), terkenal karena tulisannya yang sangat indah. Dalam “al-Ishabah fi Ma’rifah as-Shahabah” Ibnu al-`Atsir menyebutkan bahwa khot yang ditulis oleh Fathimah bintu Hasan mengikuti gaya tulisan Ibnu al-Bawwab. Nama lainnya adalah Syahidah bintu Abi Nashr Ahmad al-Ibri (W. 574 H) murid dari Muhammad bin Abdu al-Malik, murid Ibnu al-Bawwab.

Sementara itu, di antara kaligrafer wanita yang ijazahnya masih terjada dan bisa dilihat saat ini adalah ijazah khattathah Halimah bintu Muhammad Shadiq (W. 1169 H) dari gurunya, Muhammad Rasim (W. 1144 H). Halimah memperoleh ijazah pada usia yang sangat muda, 12 tahun. Sang guru, Muhamamad Rasim adalah kaligrafer yang menguasai Aqlam Sittah (Tsulust, Naskhi, Muhakkak, Raihani, Tauqi’ dan Riqa’), mendapatkan ijazah pada usia 18 tahun, dan menjadi guru pada Diwan Hamayuni.

Menyinggung kaligrafer wanita serasa kurang jika belum menyebutkan nama Asma` Ebrat. Kaligrafer wanita ini lahir di Istanbul dan belajar kepada Mahmud Jalaluddin (W 1245 H). Asma` mendapatkan ijazah pada usia 15 tahun dengan menulis Helyah Syarifah dan mendapat apresiasi dari banyak kaligrafer lain. Beliau kemudian menikah dengan sang guru, Mahmud Jalaluddin. Menutup tulisan ini, perlu kami singgung pula satu nama, yaitu Syarifah Aminah Tsarwat Hanim, yang mendapatkan ijazah dengan menulis Helyah Syarifah pada tahun 1291 H. Untuk melengkapi keterangan dan nama kaligrafer wanita, bisa merujuk kembali artikel kaligrafer wanita dalam sejarah, yang sudah kami posting sebelumnya. (muhd nur/ hamidionline)

Sumber: Nasshar Manshur, Nidzam al-Ijazah fi Fann al-Khath al-Arabiy

Continue Reading

Riwayat Sejarah Peletakan Huruf

Dalam “Shubhu al-A’sya fi Shina’at al-Insya”, al-Qalqasyandi (W. 821 H) menyebutkan bahwa Adam As. merupakan orang yang pertama kali meletakkan bentuk bentuk huruf dan tulisan, 300 tahun sebelum meninggalnya. Beliau menulisnya pada tanah liat lalu membakarnya. Setelah perisitiwa tenggelamnya bumi oleh banjir bandang, masing-masing kaum (yang selamat) menemukan peninggalan tersebut lalu menjadi tulisan mereka. Masih dalam buku yang sama, disebutkan bahwa yang pertama meletakkan huruf adalah Akhnukh atau lebih dikenal dengan Idris As.

Sementara dalam “Kitab al-Fihrist”, Ibnu Nadim (W. 384 H) menyebutkan bahwa peletak huruf adalah para putera Ismail As. Mereka adalah Nafis, Nasr, Taima, dan Ruma. Ada juga yang meyakini mereka adalah peletak huruf Arab. Akan tetapi sejarawan lain berpendapat bahwa putera Ismail As. bukanlah peletak huruf Arab, namun mereka peletak huruf secara umum. Sementara huruf Arab diletakkan oleh 7 orang dari kota Thasm. Konon mereka bermukim di tempat Adnan bin Udad. Mereka masing-masing bernama Abjad, Hawwaz, Hutthy, Kalamun, Sa’fash, dan Qarasyat. Mereka lantas meletakkan huruf-huruf Arab berdasarkan nama mereka. Dan ketika mereka menemukan beberapa lafadz tidak terdapat pada nama mereka, maka ditambahkan lah huruf-huruf tersebut dan dinamakan rawadif. Huruf itu terkumpul dalam lafads Tsakhadzun, Dladzagha.

Pendapat lain terdapat pada kitab “Wafayat al-A’yan wa anba` abna` az-Zaman”, bahwa Ibnu Khallikan (W. 681 H) mengatakan bahwa peletak huruf Arab menurut pendapat yang benar adalah Muramir bin Murrah, dari daerah al-Anbar. Dari al-Anbar inilah lalu tulisan menyebar kepada yang lain. Al-Ashmu’i berkata bahwa para sejarahwan meriwayatkan bahwa ketika suatu saat suku Quraisy ditanya dari mana belajar menulis, mereka mengatakan dari al-Anbar.

Hisyam bin Muhammad as-Saib mengatakan bahwa Basyar bin Abdul Malik belajar menulis dari orang al-Anbar, lalu dia pergi ke Makkah, menikah dengan Syahbaa’ binti Harb bin Umayyah. Dari menantunya, Harb belajar menulis, lalu belajar dari Harb puteranya, Sufyan. Dari Sufyan inilah, Sayyidina Mu’awiyah belajar menulis, lalu mulai menyebar di kalangan suku Quraisy. Tulisan yang dipelajari saat itu adalah jenis khot kufi, yang pada saatnya nanti berkembang menjadi al-aqlam as-sittah.

Khot kufi sendiri merupakan sebutan bagi khot hijazi setelah pindah dari Hijaz ke Kufah pasca pembangunannya pada tahun 16 H. Karena khot hijazi tersebut dikembangkan dengan lebih bagus dan indah di Kufah, maka kemudian disebut dengan khot kufi (dinisbahkan pada kota Kufah). Lalu kemudian istilah khot kufi menjadi umum dipakai untuk menyebut semua jenis khot lama (pra-Islam), meskipun pada dasarnya khot kufi sendiri belum muncul sebelum Islam.

Pendapat lain tentang asal huruf dan tulisan bisa dilacak pada kitab “at-Ta’rif wa al-I’lam fi ma Abhama min al-Qur’an min al-Asma’ al-A’lam”, ditulis oleh al-Hafidz Abu al-Qasim as-Suhaili (W. 581 H), juga dalam kitab “al-Muzhir” karya Imam Jalaluddin Abu Bakr as-Suyuthi (W. 911 H) serta pada kitab “al-Awail”, karya Abu Hilal al-Askari (W. 395 H). Riwayat dari sumber tadi juga disinggung dalam kitab “Taj al-Arus li Syarh Jawahir al-Qamus” karya Imam Zabidi. (muhd nur/hamidionline)

Sumber: Muhammad Murtadha az-Zabidi, Hikmah al-Isyraq ila Kuttab al-Afaq, (Kairo: Maktabah al-Madani, tt) p.27-29.

Continue Reading

Şekerzâde Muhammad; Penulis Mushaf Madrasah al-Hafidz Usman

Muhammad Sayyed adalah putra dari Abdurrahman al-Indi, seorang pembuat halawiyyat (kue pastri), karena itu Muhammad lebih dikenal dengan Şekercizâde (anak pembuat kue), sementara pada tauqi’nya beliau menyingkatnya menjadi Şekerzâde. Lahir di daerah Manisa, daerah di sebelah barat Anatolia.

Khattath Şekerzâde Belajar aqlam sittah pertama dari kaligrafer İbrahim Kırımî (w. 1737 M), lalu melanujutkan belajarnya kepada Yedikuleli Seyyid Abdullah Efendi (w. 1731 M), murid dari al-Hafidz Usman (w. 1699 M). Karena itu, dari tulisannya, Şekerzâde masuk ke dalam silsilah madrasah kaligrafer al-Hafidz Usman.

Khattath Şekerzâde termasuk seorang nassakh (ahli menulis naskh), di samping juga menulis banyak sekali qith’ah dan muraqqa’at. Tidak heran jika kemudian beliau dikirim serta ditugaskan oleh Sultan Ahmad III (w. 1736 M) untuk menjalankan haji, lalu tinggal di Madinah Munawwarah selama 4 hingga 5 tahun. Tugas utamanya adalah menyalin salah satu mushaf kaligrafer Hamdullah al-Amasi, Ibnu Syaikh, yang ada di Madinah saat itu.

Konon, khattath Şekerzâde dalam menjalankan tugasnya dalam menulis mushaf, mengambil tempat di Raudhah Muthahharah, hingga selesai menulis 3 sampai 4 mushaf selama masa tugasnya, sebelum kemudian pulang kembali ke Istanbul. Lalu menghadiahkan salah satu mushafnya kepada sultan Mahmud I, yang naik tahta menggantikan Sultan Ahmad III. Mushaf ini hingga sekarang masih tersimpan di perpustakaan Sulaimaniyyah di Istanbul. Salinan dari mushaf tersebut, termasuk mushaf paling indah yang pernah dicetak dengan metode thiba’ah hajariyyah (litografi/pelat logam), dan termasuk langka karena hasil cetakan tersebut lantas diberi hiasan garis yang mengandung emas murni.

Selain menulis naskhi, beliau juga menguasai khot sulus ‘adi. Di samping kedua khat tersebut, belum pernah ditemukan tulisan Şekerzâde yang lain, seperti tsulus jaly atau lainnya. Di masa akhir hidupnya, beliau mengabdikan diri dengan mengajar khat di rumahnya yang terletak di bilangan Hagia Sophia (Aya Sofya), Istanbul. Di samping juga mengajar resmi di “Hadiqah Khassah Sulthaniyyah” yang berada di Istana Topkapı. Beliau meninggal sekitar 1753 M.

Tentang mushaf yang ditulis oleh Şekerzâde, al-Ustadz Zaky Hasyimi menjelaskan bahwa di dalamnya banyak mengandung tasharrufat (improvisasi) yang sangat indah dan menunjukkan kepiawaian beliau dalam membuat susunan tulisan. Pada umumnya tasharufat memang ditemukan di mushaf, karena tabi’at mushaf yang ditulis irtijaliy (langsung dan spontan), sehingga kaligrafer secara spontan juga menulis tarkib yang mungkin aneh dan tidak ada dalam qith’ah atau karya lainnya, karena faktor waktu dan keadaan.

Beberapa kekurangan penulisan sebagaimana yang terjadi pada mushaf yang ditulis oleh orang non-Arab, khususnya khattath Turki, adalah adanya pemenggalan kalimat yang tidak pada tempatnya. Seperti pemenggalan wawu ‘athf dan juga pemenggalan huruf yang seharusnya tertulis pada satu kalimat.

Terlepas dari kekurangan tersebut, baik muraqqa’at maupun mushaf dari khattah Şekerzâde Muhammad Sayyed, sangat perlu untuk Anda sebagai kaligrafer maupun pecinta seni kaligrafi, untuk menikmati dan mengambil banyak pelajaran dari susunan barisnya. Karena mushaf Şekercizâde termasuk mushaf terindah yang pernah ditulis dengan madrasah al-Hafidz Usman. (muhdnur/hamidionline)

Sumber:
Ahmad Shabri Zaid, Tarikh Khot Arabiy wa A’lamul Khattahin, (Kairo: Darul Fadhilah, 2009)
https://ketebe.org
https://www.aksahaber.org
Foto dari berbagai sumber

Continue Reading

Syaikh Hamdullah al-Amasi; Penerus Yaqut al-Musta’shimi

Nama beliau adalah Hamdullah al-Amasi bin Syekh Mustafa Dadah al-Amasi, lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Syekh. Orang tuanya pindah dari Bukhara ke Amasiyah, kemudian bertempat tinggal dan menetap di sana. Syekh Hamdullah lahir tahun 840 H kemudian belajar ilmu-ilmu agama dan mulai menyukai khot ketika belajar kepada gurunya, Khairuddin al-Mar’asyi.

Syaikh Hamdullah hidup pada era pemerintahan Sultan Beyazid II hingga pemerintahan Sulaiman Khan. Saat itulah, mayoritas kaligrafer mengikuti kaidah dan cara menulis Syekh Hamdullah, karena berhasil mengembangkan al-Aqlam as-Sittah sehingga tulisannya bagus dan indah. Karena itu beliau dianggap sebagai “madrasah” pertama dalam silsilah kaligrafer Turki Usmani, dan pewaris serta penerus kejayaan khot era Abbasiyah yang berakhir pada Yaqut al-Musta’shimi.

Selain menulis, Syaikh Hamdullah juga dikenal piawai dalam mengajar. Kepiawaian beliau dalam menulis telah meninggalkan banyak warisan berupa karya-karya ‘abadi’. Di antaranya adalah mushaf sebanyak 47 buah dalam berbagai ukuran, juga menulis buku “Masyariqul Anwar”, serta menulis tidak kurang dari 1000 naskah surat al-An’am, al-Kahfi, juga Juz ‘amma dan buku-buku lainnya, disamping menulis banyak sekali muraqqa’ at dan qitha’. Bukti lain atas tulisan beliau yang langgeng hingga saat ini bisa ditemukan di masjid Sultan Beyazid, tepatnya berada di mihrab, kubah, serta di pintu tengah, dan beberapa tempat lainnya.

Beliau meninggal dunia pada 926 H, dimakamkan di Uskudar. Biografi beliau bisa ditemukan di beberapa buku dalam bahasa Turki seperti “Dauha al-Kuttab” serta buku lainnya. Rahimahullah, rahmatan wasi’atan, amiin. [muhd nur/hamidionline.net]

Credit:
Ahmad Shabri Zaid, Tarikh Khot Arabiy wa A’lamul Khattahin, (Darul Fadhilah, Kairo, 2009)
ward2u.com, hrofiat.com, youm7.com, ar.wikipedia.org

Continue Reading

Abdullah Az-Zuhdi; Studi Sejarah dan Dokumentasi

Buku setebal 52 halaman ini ditulis oleh Dr. Sami Salih Abdul Malik Bayadhi, seorang pakar pada sejarah dan arsitek Islam, di proyek perluasan Masjidil Haram, Makkah. Beliau juga peneliti dan direktur dinas purbakala, Kairo Mesir. Sedangkan Abdullah Az-Zuhdi, merupakan kaligrafer yang terkenal dengan sebutan “Katib al-Haramain asy-Syarifain” (penulis khot pada dua kota suci). Biografi tentang beliau bisa dibaca di tautan ini.

Tautan Download (43,61 MB)
Download

Continue Reading